Mendekati Cita

Ia, ada jauh sebelum kehadiran mu, sebelum kamu menjadi matahari di konstelasi tata surya ku, Ia adalah pelangi di setiap hujan deras di hidup ku, yang aku impikan menjadi dekat dan nyata. 


Tidak, jangan salah paham, aku tidak berkisah tentang manusia lain, aku berkisah tentang sesuatu, yang konon hanya dengan membayangkannya saja mampu membangkitkan semangat hidup ku. Sesuatu yang sangat layak untuk aku perjuangkan, dimana aku telah banyak menyaksikan, orang-orang gugur satu-satu di perjalanan menemuinya, mereka yang mulai berhenti bertanya, berhenti memaknai, kemudian lupa akan Ia, tergantikan dengan bermacam-macam alasan. 

Coba jawab ini, pernahkah kamu terbangun dari tidur tak sengaja dan kesadaran membisikan kalau jiwamu tidak lagi sama, berbeda, merasa tidak seharusnya? Kesadaran selalu membisikan realita pada diriku, polos, tidak mengada-ada.
Pernahkah kamu ingin pergi jauh menjelajah dunia dengan alasan untuk mencari makna hidup karena sudah tak kau kenal lagi dirimu sendiri? Menuju yang jauh, pergi, dan jauh adalah misteri, luas, bebas, tak terbatas. Lepas dari keterpurukanmu akan dimensi sempit yang kamu buat sendiri?

Aku pernah. Kenapa? karena Ia adalah cita-cita. Yang memberitahu diriku, bahwa aku hidup tak sekadar hidup, Ia adalah kebanggaan yang pantas diperjuangkan, sebuah titik yang menjadi bukti eksistensi entitas bernama Aku di muka bumi ini.

Ia yang mengajarkan aku untuk tegak berdiri, jika jatuh harus bangkit lagi dan lagi. Karena tidak ada yang namanya sia-sia jika kamu pernah berusaha.

Dan saat kamu benar-benar menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya akan bersatu padu untuk membantumu meraihnya. 

Mendekati cita-cita.

Medan, 5 November 2018

Epilog :
Izinkan aku pergi menemuinya, nanti akan aku kenalkan Ia, mungkin begitu juga denganmu, kemudian kita tuju Ia yang baru, bersama. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)