“Pro Ecclesia Et Patria” dan “Rahmatan Lil Allamin”
Ada beberapa diksi yang cocok untuk
membangkitkan dan menanamkan nilai keagamaan kita untuk mencintai apa yang
menjadi kesepakatan luhur, yaitu berdiri diatas tanah yang sama dan hidup di
satu bangsa yang berkeadilan. Tapi dibalik giatnya penamaan itu, beberapa oknum
malah menggunakan itu untuk menyatakan dirinya lebih hebat dari orang lain. Misalnya,
keadaan dimana suatu konsensus yang sudah disepakati ingin diubah dan di revisi
hingga memenuhi keinginan yang merubahnya.
Dalam kehidupan bernegara, salah satu
masalah yang paling kentara adalah ketika api sensitif keagamaan di gelorakan
demi sebuah kepentingan. Muncullah gerakaan separatis yang berafiliasi pada
lisan dan media sosial, mencairkaan gumpalan dendam yang selama ini belum
pernah mencuat hanya karena menunggu saat dan moment yang tepat. Nah tugas
negara bertambah searah berkecimpungnya para pemuka agama dan umat dalam
menyanyikan semangat kebencian. Saya tidak
sedang menggeneralisasi semua pernah melakukan itu, tetapi dampak yang ada
telah menumbuhkan rasa intoleran terhadap semua elemen bangsa. Ini harus
ditekan.
Tulisan kali ini berkaitan dengan alat
penyemangat jemaat katolik di indonesia yang sudah diadopsi sebagai semboyan
beberapa organisasi dan komunitas, misalnyaa Organisasi Silat THS-THM, PMKRI
dan beberapa lembaga gereja katolik lainnya.
Semboyan
Pro Ecclesia et Patria ini dicetuskan oleh uskup agung pribumi pertama
Indonesia yaitu Mgr. Soegijapranata yang berarti “Demi Gereja dan Tanah Air”. Istilah
ini biasanya juga dikenal dengan “100% Katolik, 100% Indonesia”. Secara sederhana,
semboyan tersebut kelihatan begitu fundamental dan bahkan sangat menggugah hati
setiap umat katolik yang mendengarnya. Tapi apakah kamu tahu, semboyan tersebut
menambah rasa penasaran saya terhadap sikap intoleran yang dimunculkannya. Ada beberapa
fakta wacana yang menyatakan bahwa ketika mengucapkan semboyan itu, rasa
keegoisan akan muncul seiring rasa nasionalismenya. Karena keakuannya berdampak
pada gerakan self-defense secara
rutin yaitu menganggap katolik selalu baik dan dapat berjalan bersama dalam
mewujudkan sifat nasionalisme. Dan itu tidak berhenti pada nasionalismenya,
umat dihadapkan pada kenyataan riil yaitu, sikap penyemarataan konsumsi publik.
Artinya, publik harus menerima semboyan itu sebagai alat penengah atau senjata
perdamaian ketika terjadi suatu intoleran. Seakan-akan katolik adalah garda
terdepan dalam nasionalisme yang secara harafiah belum sepenuhnya bisa
dikatakan begitu.
Salah satu pertanyaan besar yang masih
belum terjawab secara gamblang adalah “ Apakah umat katolik sungguh mempunyai
manfaat bagi masyarakat Indonesia?
Saya
berani mengatakan belum. Kenapa? Karena berkaitan dengan semboyan demi gereja
dan tanah air, jelas disini dikatakan bahwa fakta objek siapa penggeraknya dan
tanah air siapa masih rancu. Bisa saja tanah air yang dimaksud masih dalam
teori, prakteknya dalam tahap sosialisasi. Memang semboyan itu sangat baik,
tetapi makna yang terkandung didalamnya masih dalam kategori misteri tanpa
terapan yang jelas.
Apakah
umat katolik sungguh mempunyai manfaat bagi masyarakat Indonesia?. Ini
bukan sindiran terhadap salah satu agama yang diakui bangsa ini, tapi saya
ingin melihat bahwa umat katolik mempunyai tanggung jawab besar terhadap
semboyan “Demi Tanah Air dan Bangsa”. Sebenarnya tidak perlu kata-kata yang
muluk untuk membangkitkan rasa percaya diri umat mengungkapkan imannya, cukup
pelajari dan lakukan dengan baik. Inilah yang diharapkan dalam kehidupan
kebangsaan apalagi kita berdiri bersama dalam banyak perbedaan, munculnya
pemikiran maju sebagai ciptaan paling berakal budi.
Dalam negara Indonesia, semboyan
tersebut cocok digunakan sebagai alarm abadi, karena semboyan dari agama lain
juga menekankan hal yang sama. Misalnya, Islam memperkenalkan Rahmatan Lil
Allamin (QS 21:107), yang artinya islam adalah agama yang membawa rahmat bagi
semesta alam (hewan, tumbuhan dan sesama manusia). Makna ini lebih luas
menyampaikan pesan perangkulan semua makhluk hidup ciptaan Allah SWT. Ini juga
berdampak pada kehidupan bernegara kita yang erat dengan multi kultural,
sehingga perangkulan dengan ayat Quran ini sangat membantu hubungan sesama
manusia dalam melanjutkan moto hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Sekali lagi saya tidak sedang
membandingkan tetapi saya melihat ada beberapa nilai universal dari kedua
semboyan itu untuk dijadikan pegangan perdamaian dan keharmonisan. Karena mencintai
bangsa sendiri merupakan sikap luhur, maka seharusnya setiap agama di indonesia
diharapkan selalu berdiri sebagai garda pengawasan. Kita bukan dalam
artian mencintai bangsa ini setengah dan
setengahnya lagi adalah agama kita sendiri, tetapi ini betul-betul dalam maksud
sepenuhnya indonesia dan sepenuhnya agama saya sendiri. Kita tidak perlu
memilih diantara keduanya, dengan demikian iman yang kita terima dan jalani
sungguh meresap dalam hati, pikiran dan perbuatan. Dengan demikian, kecintaan,
kebersediaan, untuk berkorban, solider dan bersatu dengan seluruh elemen bangsa
dalam berjuang demi masa depan sungguh dapat teraktualisasikan.
Komentar
Posting Komentar