Anti Alergi, ALERGI AGAMA
Aku sering berpikir. Orang-orang sekarang alergi dengan hal-hal
yg berbau-bau
agama sebenarnya
ada apa ya? Apakah karena
stigma yg salah? Stigma yg mana?
Ini cuma opini aku ya selaku orang
awam yang punya banyak relasi orang-orang yang "mungkin"
islamophobis, liberalis, skeptis maupun yg sekedar "ignore" saja (semuanya sih ignore tapi supaya spesifik
aja). Sepertinya mereka-mereka ini, baik yg beridentitas "muslim"
maupun non muslim punya alergi dari akar pemicu yg sama. Stigma yg salah.
Stigma
yang aku maksud di sini ada 2:
1.
Stigma bahwa agama adalah "HANYA" kepercayaan kepada gaib (Tuhan atau apapun itu)
sehingga karena sifatnya internal
pribadi maka agama tidak boleh keluar kepada norma-norma sosial lainnya (etika,
kesopanan dan hukum). Agama hanya boleh berisi ajaran kepada manusia atas Tuhan,
dan bagaimana berinteraksi dengan Tuhan.
2.
Stigma tentang formalitas agama. Mereka
(dari
pengalamanku)
menganggap yg membedakan agama yg 1 dengan yg lain hanya dari ritusnya saja (misa, sholat, meditasi, dll).
Sehingga stigma yg muncul adalah "semua agama sama saja. Toh yg disembah Tuhannya sama".
Dari
kedua stigma di atas, sebelum masuk ke poin inti yg mau aku sampaikan selaku kristiani yg (merasa) taat, aku mau kritisi kedua poin
itu dulu. Karena aku rasa pun kita masih bisa salah tanggap atas
kedua poin di atas kalo aku
gak kritisi.
1.
Kritik atas stigma pertama bahwa agama adalah norma internal. Ini adalah
miskonsepsi dari pembagian norma yg
diajarkan di perkuliahan (dan
miskonsepsi ini juga diajarkan di sekolah-sekolah dan di ilmu-ilmu sosial lain atau di
mata kuliah filsafat). Pembagian norma yg sifatnya inter-pribadi adalah:
kepercayaan atas sesuatu (tuhan atau apapun bahkan yg tidak bertuhan sekalipun)
dan kesopanan (moral).
Norma ini sifatnya internal karena ga ada orang yg mampu
mengintervensi (bukan tidak boleh tapi tidak bisa).
Contoh, seorang murid yg nakal, sering memaki (immoral act) sang guru tetap bisa menasihati tapi tidak bisa mengubah
karakternya. Ia akan berubah apabila ada
keinginan berubah dari dirinya sendiri. Begitupun kepercayaan akan Tuhan.
Norma
antar-pribadi itu adalah Etika dan Hukum.
Menurut teori pembagian norma, etika dan hukum itu menjadi norma yg ada dan
disepakati bersama (bukan selalu dibuat bersama. bisa jadi juga itu diadopsi) oleh antarpribadi dlm
masyarakat.
KESIMPULAN
atas kritik stigma pertama: Agama bukan Norma internal. Akan tetapi Kepercayaan
lah yang norma internal. Norma
internal bukan berarti tidak boleh diintervensi.
Boleh, tetapi sulit karena perubahannya harus ada dalam diri pribadi masing-masing individu.
2.
Kritik atas stigma kedua yakni bahwa agama adalah ritus sehingga semua agama
sama dan yang
membedakan hanya ritualnya saja. SALAH BESAR. Setiap agama adalah ideologi.
Bukan hanya soal ritus. Di sana minimal kata Dan Brown harus ada 3 unsur yaitu:
a. Yakinkan bahwa ada hadiah dan hukuman sesuai dengan perbuatan kita; b. Percaya
pada teologi tertentu (konsep Tuhan) atau bahkan ateisme atau agnostisisme
diterima di beberapa agama; c. Mengubah orang di luar agama (kafir).
Menurut
Kamus Oxford, agama
adalah A SYSTEM of believe of some
superhuman power or powers (sistem kepercayaan pada beberapa kekuatan atau
kekuatan manusia super) . Sehingga ada 1 hal yang patut diluruskan
bahwa yang membedakan satu agama
dengan yang lainnya bukan sekedar
ritus. Tetapi konsep ketuhanannya. Tiap-tiap
agama punya konsep ketuhanan masing. Yang
mana dalam SYSTEM OF BELIEVE
atas tuhan dan KUASANYA yg bernama agama tsb terdapat norma-norma inter dan antar
pribadi. Contoh dalam islam terdapat
"syariah" (norma hukum). "Akhlaq" (norma etika) yang keduanya adalah norma
antarpribadi. Atau dlm kristen (terutama katolik) ada hukum Canon dari gereja. Yahudi ada Torah dan talmud, dll.
KESIMPULAN:
Agama bukan sekedar "kepercayaan terhadap tuhan" saja.
Tetapi system of believe yang
mengatur kehidupan.
Nah
itu tadi kritik dan pelurusan konsepnya. Sekarang kita masuk ke
akibatnya.
1.
Akibat pertama dari kedua stigma yang salah ini adalah
orang-orang jadi menganggap agama tidak
boleh masuk ke ruang-ruang
publik. Agama tidak boleh menjadi landasan hukum atau etika.
2.
Orang menganggap bahwa semua
agama adalah buatan manusia. Kalo agama-agama
besar adalah buatan manusia maka kita gak
wajib memilih salah satu dari semua agama yang ada. Bahkan kita bisa bikin konsep Tuhan sendiri. Akhirnya muncullah
orang-orang agnostik. Mereka udah gak peduli lagi apa itu tuhan dan
gimana cara kita menyembahnya. Apakah dengan meditasi, sholat, atau apapun. Suka-suka kita aja. Toh semua itu human invention (temuan manusia).
Pun yang mengaku beragama juga
begitu. Akhirnya muncullah
istilah kristen liberal atau islam liberal atau lainnya.
Bahkan ada segelintir orang
yang gak punya label apapun tapi sebenarnya mereka
termasuk golongan ini ("liberal").
3.
Akibat ketiga ini yang
paling fatal. Karena mereka menganggap semua adalah buatan manusia, tidak bisa
masuk ke ranah publik, maka mereka menjadi anti-pati kepada agama. Mereka merasa
agama adalah ideologi yang
jahat. Karena konsep ketuhanan tidak
boleh bercampur dengan norma antarpribadi.
4.
Agama jadi sekedar formalitas.
Esensi merayakan ekaristi
gak didapat. Pake jilbab
sekenanya. Meditasi sesempatnya.
Itulah
hal-hal yang aku liat berdasarkan
pengalaman pribadiku
"berdiskusi" dengan orang-orang semacam
islamophobic/agnostic/atheis baik yang
beridentitas muslim atau nonmuslim.
Selaku
sesama kristiani aku menganalisa juga masalah
internal kita selaku pengikut Yesus
yang "taat".
Masalah
kita adalah:
1.
Kita terlalu mengkuduskan diri dari logika dan filsafat. Padahal pribadi yang kita
cintai dan muliakan cuma satu yaitu Yesus.
Kenapa ini jd masalah? Akhirnya kita jadi alergi sama cara beribadah dan kekuatan misionaris mereka.
Maka kita jadi sama2 alergi satu sama
lain hanya karena berbeda cara menyembah dan berlaku secara
kristiani
2.
Kita malas belajar dan berdiskusi dengan mereka. Pun kalo kita
mau diskusi juga cuma dalam rangka defending yourself. Not to bring Jesus to them. Bahkan kadang
karena gak ngerti kita lari dari masalah dan menuduh mereka “munafik
setiap minggu ke gereja”.
Solusi
yang aku tawarkan adalah:
1.
Kita sama-sama
belajar bagaimana bicara dengan mereka. Bukalah dialog untuk saling mengenal yang berbeda. Jangan berpanas-panas
ria pada ajakan debat. Gak ada guna.
2.
Kita membuka diri dari stigma ke-alergian. Bahwa cara pandang beriman kepada yesus juga
gak selamanya sama dengan cara pandang pada aliran kepercayaan yang kita anut. Cukup
hidup berdampingan tanpa stigma.
Akhirnya aku selesai disini, perihal aku pandai dalam
agama, aku tidak secerdas itu, aku hanya ingin memberi cara pandang alternatif
pada permasalahan kita sebagai orang beragama dengan melihat kondisi kita dalam
beragama. Mari saling mengingatkan.
yaa, kareana agama bukan hanya sekedar ritual tapi sistem yang mengatur segala aspek kehidupan. im agree with you lee. ibarat nyawanya makhluk, itulah agama. masa iya alergi sama nyawa sendiri :D
BalasHapusWaahh sangat membuka pikiran Maida yang masih sangat sempit
BalasHapus