TAMPI BERAS (Oneul Mohae)
Dalam perkembangan alam yang
semakin rusak dan polusi yang meningkat, oknum manusia semakin membuat benteng
untuk perlindungannya nanti ketika tiba saatnya bumi dilanda kehancuran. Benteng
ini telah lahir dalam bentuk teknologi mapan, pemikiran yang terlalu rasional
dan mimpi akan kehidupan yang layak di Mars atau planet lain.
Manusia tak bisa lepas dari cita-cita yang harus ia
wujudkan, baik itu cita-cita menjadi penguasa, asisten penguasa atau pesuruh
penguasa. Penguasa disini adalah mereka yang kelak akan menguasai orang lain
atau hal yang bisa jadi andalannya kedepan. Tak bisa dipungkiri, manusia akan
melakukan semuanya untuk mencapai cita-cita itu dan itu berdampak pada orang lain
yang belum memiliki cita-cita seperti itu.
sumber: http://www.flickriver.com/places/Philippines/Central+Visayas/Tampi/ |
Tulisan kali ini ingin membahas
sesuatu yang beda, ketika orang lain memikirkan kemajuan, aku ingin memikirkan
salah satu akibat negatif kemajuan itu dan mengangkat itu sebagai bahan kajian
yang perlu dimatangkan lagi dalam kehidupan bermasyarakat.
“TAMPI”. . . siapa sih yang kenal dengan salah satu jenis smartphone
yang bisa 4G-an ini?
Hahaha, sory sory...aku terbawa iklan HP.
Tampi adalah alat yang sering digunakan manusia untuk
membersihkan beras dari sisa kulitnya, berbentuk persegi, bulat atau setengah
bulat dibuat dari anyaman tanaman. Menurut situs kbbi.we.id, tampi (menampi) merupakan
istilah membersihkan beras, padi, kedelai dan sebagainya dengan nyiru,
digerakkan turun naik. Dari istilah ini kita bisa memahami tampi, menampi, dan
nyiru adalah satu kesatuan makna pengerjaan untuk membersihkan beras dan
lainnya dan dalam kehidupan masyarakat yang belum mengandalkan beras indromaret
atau swalayan lainnya, istilah tampi sering terdengar akrab dalam kegiatan per-beras-an.
Aku ingin menggunakan kata Tampi
dalam kajian berikutnya karena mengacu pada kebiasaan masyarakat dalam
membersihkan beras dibanding menggunakan nyiru sebagai alatnya. Tampi dalam
kehidupan masyarakat biasa erat maknanya sebagai kegiatan awal sebelum pada
aktivitas utama memasak nasi. Biasanya beras-beras yang baru keluar dari kilang
padi masih menyisakan kulit padi dan butir kotoran atau debu yang ikut menempel
pada beras itu sendiri. Sehingga membutuhkan gerakan tangan untuk menggunakan
nyiru membersihkan itu lagi hingga sampai dipenghujung acara, berasnya sudah
benar-benar bersih dan siap untuk di tanak.
Yang bisa kita pahami disini
adalah, adanya kearifan budaya untuk memaknai beras sebagai anugerah dan perlu
pengerjaan khusus sehingga sampai didalam perut. Kearifan disini atas dasar
pemahaman aku sendiri, ketika beras dibersihkan dengan tampi, ada 3 hal yang
perlu diperhatikan:
i.
Arah mata si penampi. Aku pernah melihat ibuku
sendiri menampi beras dengan seksama. Sungguh sebuah kegiatan yang perlu
keseriusan. Ketika aku mencoba mengganggunya dengan memakan beras yang sudah
bersih, ia marah dan mengatakan bahwa aku mengoceh perhatiannya pada beras yang
sedang ditampi. Aku melihat gerakan matanya yang sangat teliti dan tajam
mengayunkan nyiru. Gerakan mata juga diperlukan untuk teliti sehingga tidak ada
beras bersih yang terbuang bebas ikut dengan kotoran lainnya.
ii.
Hembusan. Beberapa hembusan juga diperlukan
sebagai pendorong keluarnya sisa kulit padi yang masih menempel. Pelaksanaanya sama
seperti menghembus air minum yang masih panas tetapi arahnya lebih kuat
sehingga menekan keluar kotoran dalam kumpulan tampian beras
iii.
Tangan yang lihai. Inti dari semua aktivitas
penampian beras adalah kelihaian tangan mengayunkan nyiru. Dari beberapa
pengamatan masyarakat desa, penampian beras jelas lebih kepada pemaknaan. Kenapa?
Seperti kalimat diawal tadi, beras adalah anugerah kehidupan sehingga perlu
perlakuan khusus dari setiap yang akan menikmatinya. Itu terasa pada gerakan
tangan memainkan nyiru membersihkan beras, diayunkan keatas sejajar hidung dan
kebawah sebatas pinggang. Ada juga orang yang akan memaknainya berbeda dengan
cara mengayunkannya seperti membentuk lingkaran kedalam. Dari gerakan ini,
filosofi penampian terlihat secara tak langsung, dimana tangan yang menanam dan
tangan pula yang membersihkannya. Artinya, gerakan penampian tak sebatas
menampi begitu saja, orang yang telah bersusah payah mengerjakan padi hingga
menjadi beras punya perlakuan tersendiri ketika ia membersihkan beras sebelum
dimasak.
Dari ketiga perhatian diatas,
pasti sangatlah menjadi bahan ocehan oleh orang-orang yang dengan teganya
memfoya-foyakan nasi hanya karena mereka memakai kata “Uang adalah Segalanya”. Perlakuan
beras yang sangat bermakna belum tentu bisa dirasakan oleh mereka yang
menggunakan beras swalayan yang sudah steril dan terjamin. Mulai dari penampian
saja sudah hal yang asing ketika diperbincangkan karena tak perlu, ada anggapan
itu hanya sebatas kegiatan rumahan para ibu-ibu. Tetapi disini aku melihat
filosofi yang sangat berpengaruh dalam hidup. Tampi bukanlah aktivitas rumahan,
melainkan perlakuan khusus yang diikat oleh kearifan budaya, dijadikan sebagai
proses awal penjamuan makan besar. Menampi beras perlu ketelitian, mengandaikan
diri ketika memulai sebuah pekerjaan dan itu perlu hati dan pikiran yang
sinkron dan sungguh-sungguh melakukannya. Hidup ini juga adalah sebatas
hembusan persekian detik, dan ketika tiba saatnya MATI, hembusan itu akan berhenti
beraktivitas dan kita tidak tahu selanjutnya apa yang akan terjadi.
Melihat ibu-ibu di desa dan
sebagian ibu-ibu di kota yang menampi beras adalah suatu kebahagiaan karena,
mereka menjiwai penampian itu untuk kesehatan juga. Gerakan tangan untuk mengendurkan
otot-otot yang kaku, ketelitian mata untuk melatih penglihatan agar selalu
fokus dan hembusan yang mengingatkan kita akan hidup yang sebenarnya.
Jadi, ketika tampi digantikan
oleh beras-beras steril yang bisa dengan seenaknya dibeli diswalayan, mahal,
menjadi kebutuhan utama, secara langsung melepas khasanah kearifan. “kampungan
banget sih, masih make tampi”, adalah ocehan yang aku dengar terlontar dari
seorang ibu muda kepada seorang wanita tua. Mungkin karena ia melihat tampi
yang sudah koyak ditempeli lem sebagai perekat, makanya ia mengatakan seperti
itu, tetapi yang bisa dipahami bahwa ibu muda itu belum paham mengenai beras
yang selama ini ia makan. Bisa dikatakan beras swalayan memang steril tetapi
apa bisa dikatakan sepenuhnya sehat dibanding hasil sendiri, ditampi sendiri
dan dimasak sendiri. Beras yang ditampi oleh wanita tua itu sendiri adalah
hasil sawahnya sendiri, sehingga ia mengetahui susah payahnya mengusakan
sepiring nasi untuk dimakan.
Beda dengan kehidupan sekarang,
dimana nasi dalam setiap acara atau pesta selalu ada lebihnya hanya karena
kebutuhan mereka lebih dari itu. Perhatian lebih bisa ditujukan pada msyarakat
marjinal, yang masih membutuhkan makanan, disisi lain orang-orang besar dengan
ludahnya ia membuang nasi yang tak sesuai dengan lidah emasnya.
Sekali lagi, semua itu karena
tampi, tampi menggerakkan masyarakat modern untuk berpindah menggunakan alat
pembersih yang lebih keren dan cepat. Dibanding tampi yang butuh orang banyak
dengan waktu yang sangat lama membersihkan 1 juta ton beras.
Ironisnya itu adalah tegakah kita
membuang nasi walaupun sebutir ? apa yang akan kau lakukan ketika beras yang
menjadi 5 sehat 4 sempurnamu tidak ada? Atau hilang dari peredaran tanpa
melihat makanan pengganti lain ? pasti ada yang kurang. Jadi utamanya,
hargailah anugerah kehidupan itu dengan lebih berperikemanusiaan.
Komentar
Posting Komentar