Sikit aja tentang Agama VS Realita


Pernah gak kamu merasa bingung jika dihadapkan pada dua pilihan yaitu: AGAMA atau REALITA? Disini terjadi dilema besar ketika manusia disatu sisi menyenderkan dulu keyakinannya dan berjuang bersama realita hidup yang dominan tidak memerlukan hal-hal yang berbau mistis dan gak masuk akal.
Terkadang, sebagai seorang Kristiani, kita cenderung melihat sesuatu selalu berdasarkan hal yang logis. Dan tentunya hal logis itu haruslah bisa dibuktikan dan terlihat oleh mata kepala sendiri. Misalnya, ketika mendengar khotbah tentang moralitas zaman dulu di setiap hari minggu atau perkumpulan Rohani yang biasa kita temukan di Gereja atau Ruang Publik, kebanyakan dari kita merasa ngantuk. Akhirnya pun tertidur karena terlalu bosan mendengar khotbah yang bukan praktis itu.
Aku ya kadang merasa perlulah kita kembali mengkaji masalah moral kita dengan membandingkan kebiasaan praktis kita di kehidupan sehari-hari.
Kehadiran zaman yang serba praktis sekarang ini sudah tak terelakan lagi bagi umat Kristiani atau umat Agama lainnya. Kepraktisan memiliki darah dan jantung dalam hal logis. Di sisi lain, justru itulah menjadi penyebab jatuhnya moral. Ciri logika salah satunya ialah sifatnya yang berkaitan: untung-rugi. Kalau kita melihat ke untung rugi, pasti kita teringat dengan paham Marxisme yang sangat radikal. Dalam bait keduanya Marx di Theses on Feuerbach, “kebenaran tak dicari melalui dari pertanyaaan teoritis melainkan pertanyaan praktis”. Inilah sebabnya mengapa Marx mendewakan ekonomi.
Ekonomi merupakan hal yang real bagi sebuah negara. Untung rugi yang real ada di panggung ekonomi. Namun, kita harus kembali lagi melihat negara yang diciptakan atau terinspirasi dari paham Marx, yaitu negara-negara komunis.
Mungkin sebagian dari kita sudah terbiasa dengan kehidupan yang mewah lupa akan naluriah kemanusiaan. Sehingga cara berada kita sangat khas akan untung rugi belaka. Kurang kepekaan inilah yang menjadi penyebab kehadiran tanpa perasaan. Kita melihat orang miskin dengan perspektif dia itu malas bekerja tetapi kita gak tau apakah dia di-PHK dari kerjanya atau dia kena rampok. Tanpa perasaan seperti mesin robot yang berlogika dengan programnya. Hatinya kosong tapi dayanya mungkin kuat untuk menghasilkan keuntungan. Itulah kehidupan Industrialis. Sebagai akibatnya, tindakan kita hanyalah formalitas belaka yang tak bermakna.
Alasan kedua terdapat pada kurangnya kesadaran kolektif di jiwa masyarakat. Kesadaran kolektif adalah istilah yang sangat khas yang dibawakan oleh salah satu tokoh sosiologi, Emile Durkheim. Mungkin di dalam agama Kristen istilah ini lebih dekat dengan maknanya dengan Kasih. Ada banyak Gereja di bumi pertiwi kita ini. Namun kebanyakan penghuninya adalah kaum tua dan anak-anak. Memang anak-anak adalah generasi yang akan mendatang, tapi ke mana perginya kaum muda saat ini? kemana coba? 
Di era yang global ini membuat mereka lupa akan agama dan ajaran kebajikannya. Tidak semua ya lupa, tapi kebanyakan gitu sih. (keep calm)
Penemuan teknologi memecah masyarakat kita menjadi sebuah kotak-kotak. Kotak-kotak yang seharusnya saling berhubungan. Tapi toh, kenyataannya terbalik. Dengan adanya teknologi seharusnya mempermudah kita dalam beraktivitas, salah satunya berkomunikasi. Seperti halnya Misi Nokia "Connecting People" Namun, yang nampak hanyalah cara berada kita, yaitu cara kita bereksistensi. Kita mungkin lebih senang dengan sebuah HP yang mahal dibanding dengan HP sederhana tapi fungsional. Itu disebabkan karena HP yang mahal tersebut lebih menekankan keberadaan kita dibanding kita menggunakannya.
Dengan kehadiran teknologi juga memastikan kehadiran penguasaan dan siapa korban. Oleh karena itu menuntut sebuah peraturan baru. Peraturan yang dimana mengharuskan kita sebagai manusia untuk mengkombinasikan antara teknologi dan kerja kita. Dengan kehadiran peraturan atau sistem baru itu idealnya membangun kreatifitas kita. Tapi, yang terjadi kita malah menyalahgunakannya. Kita asyik nyinyirin orang dengan berbagai komentar pedas dan gak bertanggug jawab yang akhirnya membuat efektifitas sebuah kerja hanya omong kosong.
Alasan ketiga terkait atas pengalaman religius kita. Hal yang praktis menihilkan nilai-nilai yang ada di dalam pengalaman religius. Sehingga sebagian dari kita hanya melakukan ibadah kalo kita tertimpa masalah. Tertimpa kerugian menjadi fondasi utama bagi kita yang mau untung melulu melalui ibadah. 
Dan disini aku mau nekankan bahwa Ibadah hadir bukan berdasarkan untung rugi tapi merupakan dialog spiritual antara Tuhan dan hamba-Nya. Tak heran jika kebanyakan kaum muda kehilangan jiwanya dalam beribadah. Kaum tua melihat sisa umurnya itu yang tak panjang lagi menjadi sebuah momen yang penting untuk beribadah. 
Menimbang ketiga alasan sederhana diatas, gelombang  peran praktis dalam agama Kristen dan di semua agama memang tak dapat dihindari sebagai akibat dari perkembangan zaman, namun, kita sebagai umat Kristiani terlalu terpaku pada hal logis maupun praktis sebagaimana kita berdagang yang tak mau rugi. Agama berperan penting dalam mendidik moral kita. Bukankah itu tujuan Kasih?  Kasih sebagai pundak untuk kita bertindak sebagai umat Kristiani. Alasannya karena hal logis yang tak lepas dari untung rugi, menghilangkan kesadaran kolektif kita, dan yang paling parahnya, menihilkan nilai religius dalam ibadah kita. Kasih menyadarkan kita untuk kembali melihat itu semua adalah hal yang salah, sadaar posisi sebagai ciptaan dan kembali pada penghargaan kepada kemanusiaan.
...
Back To Allah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)