"Gadis Cantik Jual Pecel, trus Lu mau apa?"



Generasi millenial seperti kita sekarang ini memang sangat beruntung hidup di zaman serba maju dan instan ini. Kita dihadapkan pada semua sajian kehidupan yang penuh kesenangan dan menuntut kemajuan berbuat yang lebih besar dengan beberapa agenda kejahatan terselubung yang mungkin dalam nalar manusia belum terkaji, tapi lambat laun kita seperti budak para pemikir dan agen perubahan lainnya. Inilah tuntutan struktur kebebasan.
Dan kali ini aku mau bahas sebuah fenomena atau tren media dalam menviralkan sebuah berita atau info yang kadang menurut saya adalah “sampah”, “tidak berguna” dan “konyol”. Tapi kata-kata itu tidak mewakili perasaan ku sekarang untuk mengkaji kenapa media seperti itu.
Ada fenomena yang cukup menggelitik saya dan cukup laris dikalangan penikmat berita “gak berguna” yang tersebar di beberapa media online dalam beberapa bulan terakhir. Mengekspos perempuan-perempuan berparas cantik lalu dipadu dengan pekerjaan yang kerap banget dianggap marginal dan miskin. Sempat yang paling anyar itu ada seorang gadis cantik penjual nasi pecel asal Kendal-Jateng. Namanya tidak disebutkan. Fotonya saat sedang melayani pembeli dan menyendok nasi di pasar Kaliwungu viral di media. Tak pelak aneka tulisan yang dibumbui kata-kata mutiara muncul untuk membahas gadis ini.
Yang saya telusuri lebih dalam, dia lama sudah bekerja sebagai penjual pecel untuk membantu biaya sekolahnya dan kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ia tak hanya menjual pecel namun juga bantu orangtuanya mempersiapkan bahan-bahan membuat pecel. Selain menjual, dia  juga seorang murid SMA dan seterusnya dan sebagainya.
Lantas kenapa coba? Toh ada jutaan anak  muda yang juga membanting tulang sejak kecil demi bantu orangtuanya.
Hal-hal yang diberitakan dari gadis ini tidak ada yang spesial. Hanya cantik dan jualannya. Itu aja. Okelah ya dia bantu orangtuanya; lantas kenapa? Kan emang sudah jadi kewajiban seorang anak untuk berbakti. Mengapa gadis ini perlu diumbar dan dielu-elukan bahkan jadi bahan meme? Oh ya, ada satu mungkin jadi kelebihannya dibandingkan anak-anak biasa; parasnya doang.
Jadi yang dibahas sebenarnya fisiknya apa prestasinya? Apabila seorang anak sangat rajin, berbakti, rela ngelakuin kebajikan, bekerja sambil nimba ilmu apa dia juga akan diviralkan? Enggak tuh. Usaha menviralkan sosok tukang pecel, tukang cuci piring, tukang parkir atau tukang-tukang lainnya ini tak lebih dari mengagungkan daya tarik fisik seseorang sambil diberi bumbu drama latar belakang kehidupannya.
Sudah gak zaman menilai seseorang berdasarkan fisiknya. Ironisnya materi seperti ini masih jadi santapan lezat masyarakat kita. Kita mesti heran mengapa kita harus merasa kaget jika ada berita soal pekerjaan sederhana yang dipadukan dengan kata cantik. Memangnya masih berlaku ya kompetensi seseorang diukur dari cakep tidaknya? Aku pikir paham ini kolot sekali.
Selama ini kita dikonstruksi bahwa orang cantik hanya boleh kerja di lahan-lahan berkelas. Padahal kan orang cantik juga manusia biasa, mereka juga berhak bekerja dalam bidang yang mereka sanggupi. Toh pekerjaan itu bukan kotor, hina bahkan haram. Kok seolah harus terpukul banget ketika orang cantik merambah profesi itu. Yang lucunya pasti ada komen-komen begini “kok bisa?”, “mending kerja sama abang aja dek, jadi sekretaris”, atau “kasihan banget kulit mulusnya, jadi hitam legam nanti”. Apakah kamu pernah memikirkan seperti itu????
Semua kehebohan terhadap judul berita “penjual-penjual cantik” menunjukkan pikirang yang superficial dangkal. Hal biasa saja kok harus digembar-gemborkan,,, sebentar, ooh solanya ada peran dari daya tarik fisik sih. Yah kata lainnya ini masih norak.
Hanya menilai fisik adalah langkah yang terlalu kolot. Don’t judge a book by its cover rasanya hanya seperti peribahasa konyol bagi kita. Pada akhirnya aku nyerah dan menyadari bahwa ungkapan “Don’t judge a book by its cover” hanya omong kosong belaka. Meski selalu berusaha menanamkan pada diri sendiri dan orang lain bahwa kita gak boleh menilai seseorang hanya dari parasnya, toh kelakuan kita menunjukkan bahwa tetap cantik itu yang pertama dan terutama. Kalau gak cantik gak pantas dibahas. Buktinya judul-judul “penjual cantik” masih jadi idola dan di promosikan dengan giat oleh banyak media. Susah rasanya buat move on dari prinsip ‘cantik adalah segalanya’ dan memajukan pola pikir masyarakat jika kita masih dicecoki materi seperti ini terus menerus.
Sekali lagi, media mempengaruhi  konsep kita menerima orang lain harus dari covernya dan tak jarang orang jijik dalam hati ketika ada sesuatu yang gak pas di mata jadi lebih terkenal. Dan men judge nya lewat komen-komen yang gak berpendidikan.
Intinya jika kamu masih menganggap ‘cantik’ sebagai pertama dan terutama, aku sarankan kamu berhenti dan ajak hati dan matamu melihat orang lain dari dalam dirinya dan semua perbuatan baiknya. Jangan terpengaruh oleh arus dunia yang begitu pelik dan menyenangkan.
Karena kesenangan yang kamu nikmati sekarang ini akan punah ketika nafasmu tidak berhembus lagi.
. . .

Back To Allah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)