Agen Perdamaian ( Agent of Peace)
Sebenarnya mengemban tanggung jawab sebagai peacemaker itu sama sulitnya dengan anggapan mahasiswa sebagai agen Perubahan (Agent of Change). Disatu sisi kita dituntut untuk mempertahankan dan memperjuangkan apa yang sudah selama ini ditekadkan. Tapi tidak menutup kemungkinan ada “bolongnya” juga. Kadang kita berpikir setelah berada di zona nyaman yaitu tidak ada konflik, sebaliknya kita membiarkan ego berkuasa untuk mempengaruhi niat kita untuk tidak mencampuri urusan orang lain. Disinilah letak kesalahan itu. Tapi melawan ego kembali bukan semudah membalikkan telapak tangan, butuh usaha dari dalam diri untuk mengentaskan atau setidaknya mengurangi ego itu. Dan salah satu caranya adalah “JANGAN ASAL NYOLOT”.
Kali ini aku mau curhat
bagaimana aku merespon pendapat orang lain tentang tanggung jawab itu. Tiap hari
aku melihat dan menyaksikkan sendiri, bagaimana orang dengan mudahnya bercakap
aneh tentang orang lain tanpa melalui proses konfirmasi lebih dalam. Penuh tanda
tanya, keraguan dan sikap menyalahkan, itulah gambaran dari hasil pengamatan
dari media sosial yang aku perhatikan. Media
sosial dijadikan ajang penampilan respon yang beragam, penuh intrik dan banyak
kesalahpahaman. Tak lepas dari itu, yang
melakukannya sudah sadar betul bagaimana seharusnya bertindak yang benar dengan
landasan kamu saya hargai. Tapi dia termakan oleh ego sesaat, dan memunculkan
respon negatif memaknai perbedaan. Kembali ke topik semula, tanggung jawab itu
bukanlah sesuatu yang mudah dipikirkan, direnungi atau bahkan ditidurkan. Kamu mengerti
damai, kamu mengerti makna menghargai perbedaan dan kamu mengerti alasan kenapa
toleransi adalah kunci keharmonisan. Kamu sadar betul apa yang terjadi tapi
ketika orang lain menanggapi berbeda tentang apa yang kamu pahami, janganlah
menarik diri atau menolaknya atau mencemoohnya tapi cobalah mengerti dia
memiliki batasan dalam memahami pemahamanmu. Tidak semua orang mengatakan saya
tidak mau, tapi karena kebutuhan lain yang bahkan itu adalah ranah privasinya,
dia enggan untuk “satu kata itu”. Dia butuh waktu mencairkan suasana hatinya.
Enggak nutup
kemungkinan kok, kita berjalan dalam satu pemahaman bahwa perdamaian bisa dicapai
apabila orang yang pengen melakukannya juga merasa enakan. Allah menganugerahi banyak persepsi tapi tujuannya bukan
untuk memecahbelahkan persaudaraan.
Tapi ya...
Aku sekedar mau nanya aja sebenarnya.
Apakah itu dari hati mu yang tulus
pengen banget perdamaian itu untuk semuanya?
Apakah kamu pengen, aku dan kamu satu persepsi tentang 1+1 dan 2 x 1
hasilnya sama dengan 2. Padahal bisa saja untuk mencapai bilangan 2 aku tidak
setuju denganmu. Bahkan menilai yang kamu kerjakan tidak ada dalam buku2
pelajaran.
Apakah kamu paham arti solidaritas
setelah kata toleransi ?
Dan yang intinya, apakah kamu mengerti
Damai sebenarnya?
Makanya jangan Asal Nyolot kalau aku dan
kamu masih bersinggungan dalam hal dialektika normatif ini.....
Jujur ya, kenapa sih
kamu begitu mempertanyakan arti perdamaian? Kita aja gak berdamai??? Apalagi dengan
hal-hal besar. Tau gak kenapa kita gak berdamai
? karena kamu salah mengartikan SIAPA AKU. Mungkin diluar sana perdamaian dan toleransi harus kepada semua orang, tapi bagi aku perdamaian itu: aku paham apa yang kamu ingin perjuangkan dan harus benar2 tahu detil apa yang kamu ajarkan. Dan disinilah letak aku bertoleran kepada ajaran yang kamu kenalkan.
? karena kamu salah mengartikan SIAPA AKU. Mungkin diluar sana perdamaian dan toleransi harus kepada semua orang, tapi bagi aku perdamaian itu: aku paham apa yang kamu ingin perjuangkan dan harus benar2 tahu detil apa yang kamu ajarkan. Dan disinilah letak aku bertoleran kepada ajaran yang kamu kenalkan.
. . .
Aku mungkin belum sepenuhnya mengerti
apa yang pakai sebagai agen perdamaian. Tapi setidaknya aku menghargai luapan
kekesalanmu terhadap aku yang memahami perdamian dengan cara lain.
Ya itu, semoga kita dipertemukan dalam
perjumpaan.
Sorry jika aku kelewatan, tapi ini memang
ini situasiku sekarang. . . .
Entar aku
Komentar
Posting Komentar