Media vs Dialog: Analisis Teori Kritis


Globalisasi di dunia telah menimbulkan pergeseran dalam peran media, baik cetak ataupun elektronik: apa yang harus diberitakan dan bagaimana sikap dan perilaku masyarakat dalam pencarian dan penyebaran berita. Pergeseran peran media di Indonesia mulai terasa sejak awal era Reformasi, juga berimplikasi terhadap nilai-nilai yang dianut pemilik dan pengelola media. Etika pemberitaan tidak sekadar menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pencarian dan penyebaran berita, namun juga apa yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang tidak, serta yang pantas atau tidak pantas. Namun semua itu tampaknya tidak saja terikat budaya dan sistem pemberitaan yang dianut namun juga konteks sosial, ruang dan waktu.
Dalam konteks media Indonesia, salah satu yang menjadi masalah dalam kehidupan kebhinekaan adalah budaya saling menjatuhkan. Kebiasaan ini memiliki arti yang sangat dalam karena menyentuh kesensitifan untuk menjaga pos masing-masing. Tak terkecuali terhadap media, sarana yang paling efektif untuk menciptakan gangguan adalah dengan propaganda yang secara masif digerakkan. Baik itu media cetak maupun elektronik, hal terburuk akan terus ada ketika tidak adanya yang mengontrol kebebasan berekspresi ini.
Baru-baru ini dengan hebohnya berita pilkada di pertelevisian Indonesia adalah salah satu contoh peran media sebagai tool penyebarlusan hal-hal yang berkaitan dengan segala bentuk isu kampanye hitam. Berbeda dengan masa reformasi sekarang, pada masa orde baru, media massa digiring seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Namun sejak tumbangnya orde baru, pengelola media menemukan era transparansi yang tidak pernah ada sebelumnya. Era ini sebagai perayaan besar-besaran untuk mengekspresikan isi perasaan lewat media. Dan ini melahirkan institusi besar sebagai wadah pergerakan, seperti dewan pers Indonesia yang memegang peran sentral mengayomi mereka peliput berita dan produser besar dari segala ancaman atau intimidasi. Sekali lagi kita melihat adanya kebebasan berekspresi dan itu berdampak di semua lapisan masyarakat yang ketetapannya bersamaan dengan peraturan UU No. 40 Tahun 1999 yang berisi aturan dan ketentuan tentang penyensoran, asas, fungsi, hak dan kewajiban perusahaan pers, hak-hak wartawan, juga tentang dewan pers.
Media massa sekarang ini powerful, saking bebasnya sering kebablasan (gosip, fitnah, melanggar privasi dsb). UU penyiaran muncul setelah munculnya stasiun-stasiun TV swasta, begitu juga KPI, sehingga  meskipun UU itu terasa semakin penting dan peran KPI semakin besar, tetap saja ada kesan bahwa media TV lebih berkuasa daripada pemerintah yang mengeluarkan UU Penyiaran tersebut, terlalu banyak acara TV yang tidak mendidik dan remeh-temeh. Pendeknya, media kita bisa membuat orang jadi idola (artis, politisi, ulama) tetapi sekaligus juga bisa menghancurkan reputasinya.
Khalayak lebih meyukai media audio-visual (TV) daripada media cetak, terutama kelas menengah kebawah dan yang kurang pendidikan. Namun ini bukan khas Indonesia, karena kecenderungan ini juga terjadi di negara-negara maju. Namun jika kita ingin bangkit dari keterpurukan, maka media cetak termasuk buku dan kebiasaan membaca harus lebih digalakkan, sementara media elektronik juga harus turut berkontribusi untuk kemajuan bangsa dengan menayangkan acara-acara yang konstruktif.
Harus diakui bahwa era sekarang ini juga membawa dampak positif kepada masyarakat, selain dampak negatifnya. Misalnya, media bisa menggalang bantuan untuk para korban bencana, seperti bencana erupsi Sinabung di SUMUT atau bantuan kemanusiaan di Rohingya. Salah satu yang menjadi bantuan terbesar adalah media bisa memunculkan rasa nasionalisme lewat berita-berita kerukunan umat beragama. Di saat kota lain sedang dilanda intoleran, maka di kota lain, lewat berita disampaikan info yang bisa mengingatkan kembali akan persatuan dan kerukunan. Hal ini memberi efek kepada masyarakat yang menyaksikan, bahwa perdamaian itu perlu dan harus digalakkan sebagai dasar berhubungan dengan yang berbeda.
Realitas yang terlihat sekarang ini dalam dunia media Indonesia adalah realitas yang penuh dengan kontradiktif dan dipandang bukan sebagai sesuatu yang alami, tetapi tercipta oleh manusia sebagai relasi yang umumnya mendapat tekanan serta eksploitasi dari kelompok dominan. Merujuk pada teori kritis dan juga kelompok Marxist, dapat diasumsikan bahwa media dikuasai oleh kelompok dominan dan melalui sistem yang dibangunnya mereka melakukan distorsi komunikasi secara sistematis. Hal ini berkaitan dengan keberagaman yang ada di Indonesia, yang sedang diusahakan sebagai penymabung rasa pesatuan. Penguasa media melihat itu sebagai peluang untuk mempersatukan atau memisahkan orang, dengan cara transparasi media menyiarkan hal-hal yang positif dan negatif. Masyarakat kembali menjadi top target untuk diselesaikan lewat efek siaran, tergantung masyarakat mencerna mana yang bermanfaat tapi sering kali muncul dilema yang bisa disederhanakan lewat kata Hoax atau palsu. Berita hoax secara sederhana berkaitan dengan info yang tidak valid atau tidak jelas darimana sumbernya, namun sekecil apapun itu malah bisa menjadi stimulan gangguan dalam masyarakat.
Media penyiaran yang jelas-jelas menggunakan ranah publik dalam operasinya, selama ini sebagian besar masih dimanfaatkan oleh kalangan bisnis yang mengembangkan industri media. Realitasnya adalah bahwa kepentingan para pengusaha yang menjangkau konsumen dan menciptkan berbagai bentuk keinginan terhadap barang atau gaya hidup tertentu menjadikan media sebagai salah satu alatnya. Kebutuhan masyarakat dipandang sejajar dengan kebutuhan masyarakat kelas atas, dan itu menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat untuk terus memiliki apa yang seharusnya tidak mereka miliki. Padahal keinginan masyarakat belum tentu merupakan kebutuhan masyarakat.
Didalam situasi perkembangan industri media ini, pertimbangan budaya, kepentingan dan identitas lokal menjadi sulit diterima kalangan penguasa. Kesenjangan ini juga berdampak pada kehadiran keberagaman di Indonesia yang secara tak langsung menuntut persamaan dalam segala hal. Misalnya saja, pemaksaan untuk mengonsumsi barang-barang branded. Gencarnya iklan di TV mempengaruhi minat masyarakat akan produk tersebut, keinginan untuk memiliki hanya karena merasa gengsi lebih besar dari pada intensitas apa yang seharusnya ia butuhkan.
Media vs Masyarakat
Marx melatarbelakangi pemikiran kritis menyatakan bahwa media adalah arena dimana pertarungan ideologi terjadi. Sementara Habermas sebagai salah satu pemikir dari aliran ini menegaskan bahwa media merupakan sebuah realitas dimana ideologi dominan dalam hal ini kapitalisme disebarkan kepada masyarakat dan membentuk apa yang disebutnya sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Kesadaran ini merupakan kesadaran yang tebentuk atas dasar kepentingan kelompok dominan sehingga kepentingan mereka tetap terjaga.

Marcuse , pemikir kritis, juga mengungkapkan kondisi tersebut dalam bahasannya tentang manusia satu dimensi. Baginya manusia satu dimensi adalah manusia yang dalam kehidupannya mengalami kekaburan akan dua kontradiksi yang seharusnya selalu dipahami. Kontradiksi yang utama adalah adanya kelompok-kelompok dominan yang selalu berupaya menguasai atau menyubordinatkan kelompok lainnya. Didalam kehidupan manusia satu dimensi, perbedaan yang ada dikaburkan begitu rupa sehingga manusia sebagai seorang individu tidak menyadari keberadaan dirinya dalam dua kontradiksi tersebut. Tak adanya kesadaran individu menjadikan mereka mudah dikuasai (tanpa perlawanan) karena hilangnya kesadaran mereka sebagai kelompok tertindas.
Berangkat dari gambaran tersebut, maka media adalah momok utama bagi mereka yang belum disebut manusia satu dimensi atau mereka yang masih dengan sadar menikmati media. Kondisi masyarakat Indonesia seperti yang saya katakan tadi adalah top target , menjadi ladang besar untuk memupuk kondisi ini. Perbedaan dianggap tabu dibicarakan karena telah didoktrin oleh penguasa media yang secara garis besar bisa dikatakan hanya segelintir media saja. Isu-isu SARA diangkat untuk melemahkan persatuan yang sudah lama terbentuk. Kondisi ini hanya awal saja, tetapi bila dibiarkan akan membangkitkan rasa benci akan toleransi.

Sebagai salah satu institusi yang ada di masyarakat, maka media menjadi tak lepas dari perkembangan  masyarakat itu sendiri. Artinya untuk memahami bagaiman sebuah media berkembang akan terkait dengan keterikatannya pada situasi dan kondisi masyarakatnya. Kekuasaan yang mengusai media berimplikasi pada bagaimana masyarakat berkembang dengan media disekitarnya atau yang dibangunnya.

Mengapa interaksi masyarakat dan media menjadi begitu penting? Media sebagai institusi hadir dan bergerak dalam ranah publik oleh karenanya keberadaan media seharusnya tidak lepas dari kepentingan publiknya itu sendiri. Segala kepentingan di luar publiknya terutama yang dominan dapat mendistorsi proses komunikasi sehingga publik teralienasi dari kepentingannya sendiri dan terciptalah kesadaran palsu. Karena itulah maka Habermas melalui proyek pencerahannya memperjuangkan ruang publik yang memungkinkan situasi percakapan yang ideal.

Proyek ini bukanlah hal baru untuk diperbincangkan lagi. Ini berkaitan dengan perjuangan berpartisipasi dalam kehidupan nyata. Sejalan dengan ini masyarakat diajak untuk mengkritisi isi media yang menjadi penyambung dan penambah masalah di Bumi Pertiwi ini. khalayak ramai diberikan kebebasan untuk mencerna info yang disajikan tanpa harus ada tuntutan menikmati semuanya. Karena tujuan utama adalah adanya partisipasi.
Indonesia penuh dengan masalah yang complicated yang belum terselesaikan atas dasar kerelaan masing-masing yang berkonflik untuk damai. Istilah menuai dendam pada saat ada percikan masalah yang menyinggung SARA, disitu aksi-reaksi tumbuh. Keberagaman Indonesia adalah anugerah terbaik yang dimiliki negara ini lewat gencatan senjata selama-lamanya oleh mereka yang berbeda baik itu suku, ras, agama maupun antar yang berkepentingan. Gencatan ini bukanlah sementara lalu disambung lagi tetapi sebuah komitmen rakyat lewat pancasila. Teori kritis menyatakan bahwa, sistem kapitalisme yang telah berdiri lama di dunia ini mempengaruhi keadaan suatu negara. Dampak besarnya adalah adanya ketimpangan sosial dalam masyarakat antara yang kuat dan lemah. Media yang pada awalnya dikembangkan untuk memperluas kesadaran manusia akan kepentingannya, dalam perkembangannya menjadi alat yang dikuasai oleh kelompok dominan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan mereka ini mengabaikan dampak yang mereka berikan kepada para penikmatnya. Mulai dari hubungan sosial sampai ekonomi, masyarakat merasakan efeknya dan tidak mempedulikan.

Media yang kurang kooperatif akan perkembangan pembangunan masyarakat merupakan bahan evaluasi bagi para generasi penerusnya. Disini dituntut untuk menyikapi permasalahan perkembangan masyarakat dengan serius yang semakin hari dilanda kerancuan informasi.
Salah satu masalah yang sering menjadi topik utama dalam bincang-bincang masyarakat di warung-warung adalah mengenai toleransi. Toleransi antar umat beragama semakin tergerus oleh gosip-gosip aneh yang menceritakan keburukan mereka yang berbeda. Hal ini sangat kronis, melihat mereka dengan amin-nya menerima itu dan dijadikan bahan cerita di tempat lain. Yang secara tak langsung bisa mengumpulkan kekuatan massa untuk membalas.

Untuk memahami pengaruh media akan keberlangsungan hubungan sosial dalam masyarakat yang multiversion, tidak berhenti pada apa yang diberikan media dan segala keuntungannya. Penekanannya harus lebih kedalam dengan menelusuri dampak utama yaitu hubungan antar kelompoknya. Masyarakat memiliki beberapa perbedaan yang tak bisa disatukan untuk menuju kesepahaman, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan hubungan yang harmonis sebagai satu ciptaan dari yang Esa. Pemahaman ini seharusnya diperketat dengan aksi nyata yang diberikan lewat dialog yang interaktif. Masyarakat diberi kesadaran akan siapa dirinya, memahami orang yang berbeda dan menciptakan hubungan yang tersusun atas komitmen untuk bersama-sama membangun bangsa ini.
Selama ini yang terjadi adalah, berakarnya prasangka buruk melalui sajian menu dari media cetak atau media elektronik yang secara tak langsung mengundang kebencian. Saya tak menggeneralisir bahwa semua media berkontribusi membuat masalah ini, tetapi sejauh pengamatan, media adalah sarana yang paling efektif memunculkan propaganda. Hal ini seharusnya dilihat sebagai ancaman oleh masyarakat, tidak menerima secara mentah dan dijadikan rujukan untuk tidak menjalin hubungan dengan mereka yang berbeda.

Maka dari itu, sebagai generasi penerus bangsa, sudah sepatutnya menjadi pelopor keberagaman melalui kecintaan terhadap negara sendiri. Indonesia bukanlah milik penguasa, orang kaya, orang miskin, atau segelintir manusia, tetapi negara ini adalah milik semua yang mencintai pancasila. Walaupun dalam prakteknya kurang memuaskan, tetapi apa salahnya mencoba memulai dari diri sendiri untuk menjadi pembawa damai bagi semua yang berbeda. Media seharusnya menjadi garda terdepan untuk menciptakan stabilitas sosial dalam masyarakat dengan berpedoman pada komitmen awal sebagai media pemersatu. Dan itu juga tak lepas dari partisipasi masyarakat sebagai penikmat, tidak langsung menerima apa yang disajikan. Dengan itu tercipta antara sinergi lembaga media dan masyarakat demi menciptakan persattuan yang berlanjut terus.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)