Keberagaman: Hilangkan Stereotip, Bangun Komunikasi
Keberagaman yang ada di Indonesia bukan
sebuah bencana untuk membangun rasa persatuan dalam hubungan. Kita pasti sering
mendengar perkataan seperti itu, baik dalam hubungan personal maupun antar
kelompok, dimana ada tekad untuk menjalin kerjasama demi tujuan tertentu. Oleh
karena sering terdengar bukan berarti kita menganggap itu sebuah lelucon
sehingga selalu dilupakan, tetapi makna yang tersirat adalah adanya upaya tulus
mendorong dan menghancurkan lapisan perbedaan selama ini.
Kita dapat mengambil contoh, ketika
orang dari budaya lain menyimpulkan bahwa semua orang Batak itu keras kepala
dan mulut mereka yang super cerewet, mereka telah terlibat
dalam stereotip. Ketika orang Nias menyimpulkan bahwa orang Aceh selalu
menghabiskan banyak waktu mereka untuk menaati Qanun dan Syariah, padahal
setelah keluar dari teritorial Hukum Aceh, mereka tak menaati peraturan itu
lagi; mereka juga sedang melakukan stereotip. Ketika orang-orang mengatakan
bahwa Muslim tidak punya waktu melakukan yang lain selain Shalat karena mereka
shalat 5 kali sehari, mereka terlibat dalam stereotip. Walaupun ketiga contoh
itu kelihatannya bodoh, namun hal tersebut telah sering diungkapkan. Contoh
tersebut merupakan perwakilan sejumlah stereotip budaya yang digunakan orang
ketika membicarakan kelompok yang lain.
Stereotip merupakan kumpulan asumsi yang
di buat oleh orang di semua budaya terhadap karakteristik anggota kelompok budaya lain. Kita ingin menggarisbawahi kata
“Orang di Semua Budaya”, hal ini bersamaan pengertian bahwa setiap masyarakat
memiliki stereotip mengenai anggota, etik, dan kelompok rasial dari masyarakat
lain.
Stereotip
budaya terkenal karena sangat mudah dibuat. Ketika diulang beberapa kali, hal
itu menjadi stenografi yang mewakili sekelompok orang. Stereotip menjadi
masalah utama dalam membangun sebuah komunikasi antar mereka yang berbeda
budaya, khususnya di Indonesia. Upaya dini untuk tindakan pencegahan mengurangi
efek membahayakan stereotip ini, sejalan dengan misi kita sebagai Peacemaker adalah:
ü Generalisasi
budaya harus dilihat sebagai taksiran, bukan hal yang mutlak dan ditelan
mentah-mentah. Pengalaman personal kita sebagai agen pendamai mengajarkan
bahwa, budaya itu adalah persoalan laten dan lahir dari dalam diri kita serta
dikembangkan disekitar ranah budaya yang dianut. Tidak terkecuali, persepsi
akan orang yang berbeda menjadi mudah berkembang. Disinilah kita dituntut untuk
keluar sebentar menelisik kebenaran akan persepsi budaya orang lain.
ü Ketika
kita membuat generalisasi budaya, hal tersebut harus berhubungan dengan
nilai-nilai universalnya. Maksudnya, hal ini merupakan nilai dan perilaku yang
terjadi secara teratur selama beberapa waktu, sehingga hal tersebut menjadi
tanda dari anggota suatu kelompok budaya. Jika kita mengamati budaya dominan
dalam suku Batak, kita pasti menemukan
sedikit masalah dalam memperhatikan pentingnya bicara keras dalam setiap hal,
mulai dari adatnya sampai lingkup keluarga. Dengan cara yang sama, kita melihat
peranan Qanun dalam kehidupan berbudaya Aceh, dengan memerhatikan sejarah
berdiri dan berlakunya peraturan itu. Hal benar dari dua inti nilai budaya yang
digunakan dalam contoh ini adalah petunjuk berharga dalam melakukan
generalisasi tentang perilaku.
Akhirnya kesimpulan dan pernyataan
tentang budaya harus berkualitas, sehingga tidak tampil sebagai sebuah
kebenaran mutlak. Ada baiknya frasa yang digunakan adalah “rata-rata”,
“mungkin”, dan “cenderung” sebagai cara menghaluskan makna dari generealisasi
yang ada. Penempatan ini memungkinkan kita berpikir dan berbicara tentang
keberagaman budaya tanpa menunjukkan bahwa setiap anggota dari suatu budaya
adalah sama persis. Karena budaya lahir sebagai pedoman hidup dan nilai sosial
dalam bermasyarakat, tuntutan utama adalah menghargai keberagaman itu dan
mengakui diri sebagai ciptaan yang sama dihadapan Tuhan. Keberagaman yang telah
tercipta di nusantara ini mengingatkan kita untuk sebuah persatuan, menjunjung
tinggi rasa toleransi dan menelusuri kebenaran dari setiap konstruksi sosial
yang selama ini dianut sebagai generalisasi.
Dengan
begitu akan hadir komunikasi lintas budaya yang harmonis dan sustainable. Dan diharapkan muncul
keinginan untuk menjaga budaya bangsa dari segala intevensi yang dapat memecah
belah.
Komentar
Posting Komentar