Pilkada Serentak 2017, Ekonomi Aman?


Pelaksanaan Pilkada serentak di era pemerintahan Jokowi, selalu menimpulkan suasana yang menggelitik hati. Kesekian kalinya berjalan, tak bisa melepaskan nuansa ketidaknyamanan diantara pihak yang bersaing dan menimbulkan riuh konflik di tengah-tengah masyarakat. Tetapi hal yang menarik dari pilkada di awal tahun ini adalah, figur politik yang dihadirkan mengguncang pilihan masyarakat untuk memilih yang terbaik. Tak pelak, segala taktik pemenangan digalakkan oleh tim sukses untuk memenangkan hati rakyat.
Kehidupan sehari-hari rakyat juga dijadikan arena penarik perhatian dengan cara melibatkan aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan kesejahteraan. Patut diakui, dewasa ini sejalan dengan perkembangan teknologi, taktik seperti itu hanya sebatas kegiatan pemenangan biasa karena rakyat sudah mengetahui apa akal bulus dibalik semua ini. Kesejahteran masyarakat tidak harus diselesaikan dalam sehari dua hari, karena ini berkaitan dengan pembangunan kemanusiaan yang lebih mandiri dan menyentuh aspek keadilan sosial dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, taktik pemenangan dengan cara menarik perhatian sudah basi untuk ditanggapi.
Rasa terimakasih juga perlu dihaturkan kepada KPU sebagai pihak penyelengggara karena jauh-jauh hari sudah memarakkan pilkada serentak ini. Menurut Deputi Bidang Statistik dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Prabowo, “Kalau pilkada kali ini menurut saya ukurannya kecil” (15/2/2017). Setidaknya ada beberapa alasan yang melandasi hal itu. Pertama BPS menilai pilkada serentak tidak mencakup keseluruhan wilayah Indonesia, dengan 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Dengan alasan seperti itu, layak diakui cakupan pengawasan KPU untuk melaksanakan Pilkada kali ini mudah diselenggarakan dan tidak mempengaruhi stabilitas ekonomi. Proporsi pilkada serentak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tidak begitu besar.
Kedua BPS menilai kampanye pilkada serentak tidak banyak melibatkan masyarakat. Kampanye justru banyak dilakukan melalui media cetak atau media sosial, dan mempunyai dampak yang besar untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Akhir-akhir ini sedang gencarnya pemerintah dan masyarakat mencanangkan gerakan anti Hoax. Gerakan ini tak lebih dari dasarnya adalah pelaksaan pilkada yang sering jadi ajang perang berita kebohongan untuk menyudutkan salah satu pesaing. Oleh sebab itu pengaruh media sosial dapat membangkitkan partisipasi masyarakat yang memiliki beberapa dampak. Dengan media, tim pemenangan juga menggunakannya untuk mengurangi pengeluaran selama kampanye. Contohnya, poster, banner, dan kaos-kaos partai.

Selama ini, kontribusi pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi justru terjadi lantaran melibatkan banyak masaa. Dengan begitu, tingkat konsumsi sebagai salah satu komponen penting pertumbuhan ekonomi juga  meningkat. Di pilkada tahun ini, masaa yang dikerahkan semakin berkurang karena masalah kampanye dibebani kepada gencarnya media sosial. Jika pelaksaan pilkada di Ibukota serasa mengikuti Pilpres, lain hal dengan dibeberapa kota lainnya. Misalnya, di kabupaten Tapanuli Tengah setelah pelaksaan pemilihan bupati dan wakil bupati, kegiatan ekonomi berjalan lancar. Tetapi pengerahan massa kembali terulang karena salah satu tim sukses paslon menganggap adanya kecurangan dalam pemilu. Ini mengindikasikan akan terjadinya kegaduhan stabilitas ekonomi didaerah itu walaupun  dalam skala kecil. Tapi kita berharap akan hasil pilkada yang benar dan diterima dengan baik oleh pihak manapun dan kegiatan ekonomi tidak terganggu oleh nuansa demo dan unjuk rasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)