MALL AND CAFE, pusat hedonis dikemas praktis

Hedonism dalam lukisan Kontemporer

Mall merupakan tempat nongkrong anak gaul alias ABG (anak baru gede, anak babe gue, atas bawah gede....#krik). Disinilah lokasi berkumpulnya dunia konsumeris dan hedonis. Segala macam produk masa kini telah hadir dalam gedung yang berukuran cukup luas. Mall menghadirkan segala mimpi-mimpi anak muda yang sebenarnya jauh dari realitas yang nyata.
Mall sebagaimana yang pernah dilansir internet “mbah Google”, memiliki arti tempat yang luas dalam satu bangunan yang  terdiri dari berbagai macam toko, baik supermarket, game online/ti**zone, toko buku, toko kaset, toko pakaian, kantin/kafe untuk nongkrong, toko ATK, dn konter-konter elektronik. Biasanya didukung pula oleh satu atau lebih departement store yang dikeliling oleh tempat parkir.
Bicara tentang cafe, cafe semacam warung makan yang tempat dan tatanannya dikemas dengan sedemikian menarik dan unik. Ada yang lesehan, tetapi ada pula yang duduk bahkan yang mau jongkokpun pun ada. Tempat duduknya pun dibuat dengan indah. Suasananya sejuk. Terkadang lampunya sedikit dibikin remang-remang, biar terkesan romantis (alias rokok, makan gratis...krik). Menu makanan dan minumannya cukup beragam, bahkan ada juga yang aneh-aneh. Singkongpun bisa dibuat dengan bermacam rasa dan bentuk. Begitu pula yang terjadi di segala jenis makanan lainnya. Para pelayannya ramah-ramah, cantik, dan sopan. Tentu harganya bermacam-macam.
Mall dan cafe sama-sama sebgai pusat untuk berkonsumeris dan berhedonis ria. Seolah tidak terasa kalau kita telah mengeluarkan uang ratusan ribu, sambil menraktir teman-teman. Inilah bentuk modern yang menghadirkan produk-produk hedonis yang dikemas praktis. Seolah jika kita datang  ke tempat seperti ini, gengsi kita menjadi naik dibandingkan dengan makan di emperan jalan. Terkadang, cafe juga ada yang menyatu dengan mall. Disalah satu sudut ruang, biasa dijumpai cafe tertentu dengan pelayanan yang cukup plus+plus, berAC, serta pelayanan yang ramah dengan pelayan-pelayan yang cantik dan seksi. Cukup memuaskan pelanggan.
Memang ada beberapa keuntungan jika kita berkunjung ke mall dan cafe. Dua tempat ini bisa membuat kita seolah-olah dalam suasana refreshing, pikiran menjadi serba fun, bisa juga cuci mata, sebagai lokasi hiburan, pelepas beban dan sedikit olahraga. Karena dengan berjalan dari satu lantai ke lantai selanjutnya bisa membakar banyak kalori dalam tubuh. Itung-itung sedikit diet bagi yang gemuk dan yang jarang olahraga. Solusi praktis kan?
Namun perlu diingat, dengan sering datang  ke mall dan cafe dapat membuat ketagihan. Dengan datang kesana, kita bisa kecanduan untuk selalu membeli barang-barang yang awalnya tidak kita inginkan. Karena barang itu menarik, akhirnya kita ikut juga membelinya dengan menimbang-nimbang sesuai nggak dengan isi kocek kita. Dengan mendatangi tempat-tempat semacam itu tentu membuat harga diri kita menjadi naik dan serasa telah berada diatas, walaupun habis itu kembali lagi berada di bawah. Sangat menyedihkan, hanya mendapatkan kenikmatan sesaat tapi kesengsaraan yang berkepanjangan.
Bagi anak muda, mall dan cafe dapat menguras uang. Iya kalo uangnya hasil kera sendiri, kalau ternyata dari mencuri uang orangtua gimana? Sungguh kasian sekali. Untuk mendapatkan kesenangan saja, mereka harus berusaha dengan jalan kriminal. Hasil kriminal itu tidak lain hanya untuk mendatangi tempat-tempat luks yang mirip surga. Surga kapitalis.
Lebih lanjut, aku bahasanku ini akan mengkaji tentang mall dan kaitannya dengan keberadaan pasar-pasar tradisional. Pasar tradisional merupakan pusat perekonomian yang dianggap sebagai mata pencaharian masyarakat kelas menengan kebawah. Dengan adanya pasar tradisional, proses pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar berjalan baik. Namun gimana nasibnya ketika mall dan pusat-pusat perbelanjaan modern hadir di tengah-tengah mereka.
Pada hari ini aku tertarik membaca koleksi majalah di perpustakaan kota medan di jalan Iskandar Muda, dimajalah yang saya baca yaitu Tempo terdapat kisah seorang penulis Gunawan Muhammad tentang mall. Katanya “ saya tak tahu berapa mega killowat listrik yang dikerahkan untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingan, pada suatu hari di Tokyo, ditepi jalan yang meriah di Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang.
Tahukah tuan? Tanya temanku. Jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang? Saya menggeleng dan ia menjawab: jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh”
Setelah saya membaca itu saya dapat inspirasi untuk menulis ini sebagai bahan coretan dan menanggapi apa yang dikatakan penulis itu. Teman penulis itu berbicara tentang ketimpangan, membayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negara miskin tapi tak punya daya sebanyak negara borjuis itu. Aku pun bisa membayangkan berapa killowat energi yang ditelan oleh sebuah mall di Medan ini, dimana kita bisa duduk minum kopi, jus dan makan chicken apalah itu. Mungkin kita akan sadar seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nan jauh di pedalaman papua dan flores sana. Sebuah refleksi tentunya yang cukup menguras pikiran tentang kehadiran mall yang menindas pasar-pasar tradisional.
Dapat juga kita refleksikan bahwa pasar-pasar tradisional memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi masyarakat bawah. Karena di pasarlah perputaran ekonomi bisa terjadi. Disini uang beredar dibanyak tangan. Tertuju dan tersimpan dibanyak saku. Rantai perpindahannya lebih panjang, sehingga kelipatan perputaran yang panjang itu berdampak pada pergerakan perekonomian bagi kota dan daerah. Berbeda dengan pasar modern besar, semu uang dibelanjakan tersedot hanya pada segelintir penerima yang disebut dengan kasir. Efeknya bagi perputaran ekonomi lebih pendek. Karena itu sesungguhnya tidak terlalu membawa dampak pada perputaran sektor lain diluar dirinya. Teori ini merupakan teori ekonomi makro sederhana, dimana bila uang di satu daerah rantai transformasinya lebih panjang, maka uang tersebut akan mampu membawa perputaran ekonomi lebih tinggi bagi daerah tersebut. Sebaliknya bila rantai perpindahannya pendek, maka tidak akan banyak memberi dampak kemjuan ekonomi.
Selain itu, keberadaan mall sangat terkait dengan kebijakan pemerintah setempat, baik daerah maupun kota. Sebenarnya ya pemerintah sudah mengkaji tentang mall, tetapi tidak melihat pada dampak mall terhadap pasar tradisional melainkan lebih melihat pada keuntungan pendapatan derah yang bersumber dari pajak tanah dan bangunan, pembagian retribusi parkir khusus, pajak-pajak restoran, pajak pendapatan, pajak reklame dan lain-lain. Jika semua dijumlah, maka akan sangat menguntungkan besar bagi kontribusi pendapatan asli daerah (PAD).
Inilah hasil pembelajaran sosiologi pembangunan, dimana aku mendapat sebuah pencerahan ketika pola pikir pragmatis yang bersumber dari ideologi developmentalis menekan habis pada pembangunan percepatan. Ideologi ini menganggap bahwa mall sebagai tujuan dari kemajuan pembangunan. Bagi mereka yang menolak kemajuan dianggap KOLOT, KUNO, MANUSIA PRASEJARAH !!!!. Dan bahkan itu, di era orde baru disebut sebagai anti-pembangunan.
Memang dengan adanya mall, para pengangguran menjadi memiliki pekrjaan walaupun mereka selalu bekerja dibawah gaji yang seharusnya dan tekanan atas dalih mengejar target atau omset. Menurut Marx, dengan adanya para pekerja tersebut mall telah melahirkan ketimpangan sosial antara pemilik modal dan pekerja keras alias bawahan. Para pekerja itu dituntut bekerja keras tanpa henti seperti robot. Sebenarnya mereka tak mau bekerja, tapi apalah daya dari pada tidak bisa hidup ya kannnn...karena satu-satunya penghasilan mereka hanya dari pekerjaan tersebut.
Kita tidak tahu, dibalik bangunan mall yang megah, dihiasi parfum ala Prancis, pakaian ala Korea, dan makanan berkelas Eropa, tersimpan kepedihan dari para pekerja keras yang sebenarnya mereka tidak mencicipi hidangan yang disajikan mall tersebut. Iya kalo mereka bekerja disana terus. Bagaimana kalo tiba-tiba mereka dipecat dengan alasan agar beban pekerja tidak terlalu berat. Akan kemanakah mereka mencari penghidupan. Belum lagi pelecehan seksual yang terjadi terhadap perempuan. Apakah kesadaran kita sudah sampai kesana atau malah sudah tau tapi tetap cuek (emang gue pikirin...)
Disinilah letak sikap kritis kita harus diterapkan ketika melihat adanya ketimpangan sosial yang telah diciptakan oleh mall. Dengan analisis kritis Marxian, maka tujuan dari tulisan ini ingin menciptakan kehidupan yang sejahter atas dasar pemberdayaan ekonomi di masyarkat pasar tradisional. Sebagai mahasiswa yang tidak hanya berkoar-koar di medsos juga harus bisa jeli dan tentunya tanggap akan ketimpangan disekeliling kita, memberikan kritik kepada pemerintah daerah/kota, agar pasar tradisional diperhatikan kebersihan dan keindahannya, sehingga para pengunjung tidak pusing dan jijik dengan pasar tradisional tetapi termanjakan untuk selalu datang.


#salamproses

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)