Terimakasih atas ingatan itu #grndpa
[aku, kedua oppungku, dan rian] |
Jam 05:40
Hari ini berbeda dengan hari biasanya aku di kampung
tercinta. Suara panggilan oppungku yang keras itu tak lagi kudengar,
membangunkan aku yang masih tidur dengan alunan dinginnya pagi. Kali ini aku
merasa aneh, bangun tidur pertama kali di kota tempat aku meniti ilmu dengan
suara hentakkan kaki teman-teman kost yang sepertinya udah bangun duluan. Yang
biasanya aku langsung cuci muka, bersih-bersih area tempat tidur di lantai,
memberi makan ternak babi, sekarang aku hanya berdiam, aku sudah tak dikampung
lagi. Walau di satu sisi aku merasa bebas dari pekerjaan rutin itu, tetapi aku
berpikir lagi dibalik itu semua aku juga merindukan dan ingin melakukan itu
lagi. Sepertinya itulah maunya kerjaku tiap pagi bangun tidur.
Rupanya yang sudah lanjut, selalu mengingatkan aku akan
kerja kerasnya selama ini menyekolahkan aku. Itulah oppungku. Baginya tak ada
yang lebih penting dari sebuah pengorbanan. Memiliki cucu yang harus ia
sekolahkan semua adalah bentuk pengorbanannya di hari tua, mengerjakan apapun yang
ia bisa. Yang sebenarnya di hari tua inilah dia seharusnya menikmati
kebahagiaan oleh cucu-cucunya, tetapi ia tak mau memikirkan itu, ia hanya mau
agar semua cucunya dapat sekolah dengan baik. Toh hasilnya adalah untuk diri
sendiri.
sehari sebelum keberangkatanku, oppung masih terbaring |
Dia seorang yang pekerja keras dengan nama panggilan yang
melekat dan dikenal oleh satu kampung “Pokkar” artinya pokokna karejo. Tak
peduli orang berkata apa, dengan mengandalkan daya pikir (istilah oppungku
untuk hidup yang matang), ia akan mudah menjalani kegiatan sambilannya. Selain
bekerja di CU, ia harus menjaga sawitnya, sawahnya, dan hasil kebun yang lain
dengan dibantu oleh oppung boru. Ia sangat jeli akan kegiatan kecil apapun yang
tak dirasa cocok. Itulah dia. Oppung yang kuat mengurusi banyak hal di hari
lanjutnya. Aku juga akan merasa takut jika mendengar ia marah, suara yang keras
dan sering membuat orang tau suara siapa itu. Dibalik itu, aku belajar banyak
hal darinya. Hidup itu bukan rasa kasihan, melainkan harus tegas dan tanggap.
Dia juga seorang yang penuh firasat baik akan hidup. Selalu berharap bahwa
rezeki akan datang jika kita berbuat yang baik dan selalu berdoa. Sehingga di
usianya yang lanjut, bekerja adalah pilihan.
Aku sangat khawatir disaat terakhir aku akan berangkat ke
medan. Sudah 2 hari ia sakit. Aku bahkan berpikir, mungkin ia sakit karena
memikirkan biaya hidupku di medan karena semua perlu uang. Pada saat
keberangkatankupun, aku tak sudi pergi melangkahkan kaki melihat raut muka dan
badannya yang masih lemas. Melihat ia tersenyum melepaskanku, aku sedikit lega
untuk pergi, namun tak menutup kemungkinan apakah sakitnya itu kumat saat aku
pergi. Tidak ada lagi yang mengawaninya dirumah berbaring, ia harus bolak-balik
mengantar dami (silihku) ke sekolah, mengantar oppung boru ke sawah, dan meninggalkan
sementara pekerjaan CU nya. Aku memikirkan itu semua sekarang saat mengetik
ini. Semoga ia sehat.
Di medan ini, tempat aku kuliah, aku akan berjuang untuk
mereka. Tidak menyia-nyiakan pengorbanan besar mereka. Aku selalu berdoa untuk
kesehatan, rezeki dan umur yang panjang buat mereka disana. I love them.
Komentar
Posting Komentar