SARJANA ADALAH SUSAH JALAN



Apa itu sarjana?
Sarjana adalah susah jalan.
Begitulah sedikit percakapanku dengan sepupuku yang masih berusia 7 tahun di kamar mandi. Agak membingungkan dan tersenyum mendengar apa yang ia ketahui tentang sarjana dan aku tahu itu bukan sebuah lelucon ketika aku harus menghargai jawabannya dengan jempolan sebagai bentuk apresiasi dini. Jawabannya itu kembali mengingatkan aku tentang statusku sebagai mahasiswa yang sedang meniti jalan sukses menjadi sarjana. Sarjana yang berguna nantinya. Dan itu ditekankan lagi oleh kakekku sendiri “Kau nantinya jadi sarjana. Jadi, bertindaklah layaknya seorang yang sudah dewasa (senior). Untuk apa aku menyekolahkan kau, jika nantinya titel itu hanya embel-embel”. Kalimat rusuh ini diungkapkan saat aku dan sepupuku itu menonton kartun anak-anak yang sebenarnya bukan masalah ketika bersamaan dengan statusku sebagai mahasiswa tidak boleh menonton itu lagi. Dengan banyaknya nasehat sana sini, membenarkan diriku saat itu dan memang terbawa perasaan bahwa aku bersalah. Aku sebagai objek titik pembenarannya.
Sarjana. Kata itu terlihat enteng dibaca tapi tak sedikit orang yang merasa berat menjalaninya. Status mahasiswa yang kubawa-bawa dikampung ini menjadikan aku agak mengangkat dagu didepan mereka yang masih berhenti sekolah atau masih dibawahku. Banyak yang menjadi pelajaran, itu berkaitan dengan apa yang aku alami saat ini, aku perlu sesuatu untuk dilakukan selain melakoni diri sebagai mahasiswa. Orang-orang kadang bertanya-tanya apa yang berkaitan dengan diriku dan kuliahku. Aku terdiam sejenak memikirkan kehidupanku yang sebenarnya di Medan. Aku tersenyum, kadang meringis juga. Dan aku menjawab semua aman terkendali selain harapan aku berguna apa nantinya kepada mereka yang bertanya ini.
Yang penting adalah prosesnya menjadi sarjana. Itu lah sebuah rujukan yang kudapat dalam rentang waktu. Proses menjadi sarjana, sama halnya dengan kita ingin memasak kue bolu dengan berbagai bahan-bahannya. Membutuhkan keahlian dan kesabaran membuatnya, dimulai dari meracik varian bahan dan alat sampai proses penyajian. Begitu juga dengan sarjana. Mendapatkan gelar sarjana tidak semudah menggunakan remote untuk menyalakan tv untuk medapatkan siaran yang ingin kita tonton. Banyak tindakan sana sini yang harus kita kerjakan sebagai penggeraknya, menjadi sarjana perlu wacana dan gubrakan besar. Selama ini yang jika aku perhatikan, sebagai mahasiswa bermacam cara dilakukannya untuk berproses. Mulai dari level sangat tak peduli sampai kecanduan. Istilahnya adalah berproses menjadi ujung tombak agen perubahan masyarakat. Orang menjalani proses itu tergantung niat dan kemampuannya. Kadang dijadikan takdir dan nasib, menyerah hanya karna rahmat yang Mempunyai Alam ini. Perih sih melihat macam-macam pergerakan mahasiswa menjalani proses ini, tapi karna ada istilah “it’s my style, man. My life!!!”, aku hanya perlu mengetik tulisan ini sebagai bahan refleksi di liburan semester genap ini.
Di kampungku ini, tepatnya desa Pagar Pinang, Kec. Manduamas-TapTeng, begitu banyak orang yang senang bersekolah. Niat mereka sangat besar sebagai pelajar apalagi di semester genap banyak siswa baru yang mendaftar dengan berbagai macam latar ekonomi. Walaupun sekolah itu jauh, yang penting bisa sekolah. Biaya tak usah dipikirkan. Kesadaran dini untuk menyekolahkan anak bukan diakibatkan oleh iklan masyarkat dari kemendikbud yang lagi marak di televisi, melainkan karena mereka perlu itu sebagai acuan kematangan proses berpikir anak-anaknya. Semakin besar perhatian itu menyebabkan kakekku terus menasehat aku “lihatlah mereka!”. Hanya dengan kalimat itu, aku sudah berpikir banyak dan menjalar kemana-mana. Kalimat itu seperti untaian mutiara dari tepi pantai kahona-Barus. Yap sebagai bahan penenangku saja saat itu. Itu mengartikan karena aku sudah lebih dari mereka, maka aku harus bertindak layaknya lebih dari seusia mereka. Aku seakan berat dan bersalah memegang kata –Maha- itu. Kata yang perlu defenisi besar dimanapun ia diletakkan dan berpijak. Kata itu sebagai proses awal menjadi sarjana seperti yang diharapkan kakekku saat itu.
Aku melihat kalender, satu bulan seminggu lagi akan dimulai perkuliahan yang menyesakkan itu. Aku berharap itu cepat datang karena aku ingin merasakan dunia kampus yang berbeda dari semester sebelumnya yang hanya dipenuhi dengan permainan dan dunia Disneyland. Acuh tak acuh dan baru aku merasakan yang sebenarnya arti mahasiswa itu yang sedang berproses. Butuh kerja keras. Disiplin dan ketekunan.
Teringat dengan kata-kata sepupuku itu “susah jalan”, aku baru belum sepenuhnya melangkahkan pikiranku sejauh itu, ketika sudah jadi sarjana nanti akan susah jalan. Artinya sepupuku itu sudah lebih tau proses itu dan seakan ia pernah menjalani mahasiswa dan jadi sarjana. Ya, benar juga, ketika sarjana nanti bakal lebih banyak halang rintang daripada yang sedang kita jalani sebagai mahasiswa. Maka saat-saat inilah, perlu disiplin keras meraih sesuatu, bukan bersantai nongkrong. Bagi aku yang tidak seperti mereka yang suka melayang-layangkan waktu buat nongkrong, harus bertindak dewasa sudah cukup untuk melengkapi proses menjadi sarjana.

 Aku menundukan kesombonganku sebagai kalangan terpelajar karena belum tahu arti sebenarnya apa yang sedang kujalani. Semua adalah kerja keras. Tak ada kesuksesan yang diraih dalam semalam, kecuali engkau mendapatkannya dengan usaha yang haram. Sedikit berbeda dengan orang berada yang mampu menggerakkan segala cara dalam sekejap dengan konektif yang mumpuni, apalah yang hanya mempunyai doa ini untuk selalu bersyukur atas semua berkat Jadilah seorang yang berguna dan mari berproses dengan positif.

#salamproses

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)