Siapa Yang Hendak Disalahkan: Pelaku vs Anak SD

#SAVESOMETHING

 
#savesomething
Kelihatannya penanda keras di tahun 2016 ini adalah kasus pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur yang berujung pada pembunuhan. Dan yang menjadi pertanyaan adalah, sebagian besar korbannya adalah siswi SD yang masih polos. Tak lepas dari kasus ini, notifikasi yang selalu muncul di salah satu media online UC Browser menampilkan berita siswi SD korban pelecehan seksual selalu bermunculan. Dan berita itupun kadang aneh-aneh yang apabila ditelaah dari segi pemilihan topik judul selalu mengundang kontrofersi seksualitas. Ini mengindikasikan bahwa kejahatan seksual setelah kasus Yy dan lainnya tidak berhenti disitu saja. Seolah-olah berita kejahatan seksual ini akan terus melahirkan kader baru mengisi kekosongan aksi pelaku di kasus yang sudah terselesaikan.
Belum habis cerita, kasus kejahatan seksual ini akan memunculkan teknik dan pelaku baru dalam memenangkan cerita bersambung ini. Lain halnya jika dulu, cara untuk meluluskan nafsu bejat ini dilakukan dengan berbagai kegiatan yang tak mencurigakan lingkungan sekitar korban misalnya memberi obat tidur dalam minuman, hipnotis, iming-iming uang jajan, membantu korban menyelesaikan pekerjaanya bahkan mengajak langsung berhubungan suami isitri, maka sekarang ini akan di-inkarnasi dalam bentuk paksaan atau pemukulan. Sekarang ini para pelaku kejahatan lebih transparan melakukan kegiatan ini, karena dianggap lebih menantang dan menggairahkan serta aksi ini akan menjadi sejarah yang tak pernah dilupakan.
Bukannnya hendak mendukung pelaku kejahatan seksual dalam mengulangi aksinya kembali, melainkan kehadiran mereka tak lepas dari korban. Korban yang mereka anggap polos dan dekat dengan mereka adalah mangsa empuk pelampiasan sirkulasi nafsu yang sementara. Sebagian besar korban pelaku kejahatan ini adalah orang terdekat dengan si pelaku misalnya pamannya, menantu, sepupu atau teman dari anggota keluarganya. Dan sebagian besar pula kasus ini menjurus pada anak dibawah umur yang notabene masih sekolah. Mengapa harus mereka? Pertanyaan ini mungkin sudah umum diutarakan oleh publik, namun penyelesaiannya masih berputar pada argumen bahwa kasus ini sebagian besar dilimpahkan pada pelaku dan kelakuannya yang sama dengan kelakuan fauna.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa kejahatan seksual ini terletak pada moral pelaku yang bobrok dan teralienasi dari kancah kehidupan masyarakat. Norma yang dibangun menjadi tolak ukur bermasyarakat dan setiap orang yang melanggar konsensus norma yang ada maka akan dikucilkan dan diberhentikan dari jabatannya sebagai manusia yang bermoral dan beradab di lingkungannya. Sungguh sebuah hukum yang kejam. Tetapi kita perlu menilik kembali kasus kejahatan seksual ini dari segi korbannya, karena selama ini dimensi kekuatan ke-tersangkaan dijatuhkan ke pelaku. Korban disini adalah anak dibawah umur, polos, statis dan lincah serta menarik perhatian. Nah, kembali kepada kekesalan akan perubahan global, anak dengan jiwa seperti diatas sudah pasti menjadi korban globalisme. Mengapa? Itu terlihat pada kondisi Indonesia sekarang ini yang dihadapkan pada pintu keterbukaan informasi dan budaya postmodernisme. Segala hiruk-pikuk globalisme masuk pada lapisan masyarakat Indonesia yang rapuh dan hanya tahu memakai. Dan itu tak lepas dari pengaruh budaya barat yang diadopsi oleh para kawula muda Indonesia dan bahkan anak dibawah umur. Sekarang ini balita saja sudah tahu menggunakan gadget yang diberi oleh bundanya yang demokrat. Sehingga muncullah generasi baru Indonesia yang fashionista, dramanista, maki tak tahu nista, mobil disita malah mengancam polisi dan lain-lain.
Dan apa hubungannya dengan anak SD? Yaelah malah bertanya. Balita saja sudah eksis sekarang ini, apalagi anak SD. Umur-umur di muda seperti anak SD rentan dengan sifat keingintahuan tinggi dan ekstrim. Jika selama ini anak SMP selalu dijuluki dengan idiom sekolah mencari pacar, maka SD pun tak mau kalah dengan memunculkan agen perubahan dari kalangan siswi yang ingin eksis. Siswi SD sekarang ini sudah mulai moderat, artinya mereka lebih terbuka akan perubahan status, ingin menampilkan diri ke khalayak umum dengan cara mereka yang unik. Maka jangan heran ketika banyak anak SD sekarang ini sudah mulai berpacaran bahkan blak-blakan ke publik untuk pengukuhan status mereka. Dan kesempatan pun terbuka. Kesempatan disini artinya, ada timing yang tepat untuk melakukan kejahatan seksual oleh para pelaku tersembunyi yang diam-diam mengagumi perkembangan anak SD tersebut.
Rok diatas lutut, memakai make up yang norak, seragam yang dimodifikasi dan gaya berjalan bak model diatas catwalk, apa tidak memungkinkan para pelaku terdekat mereka berkedip mata setidaknya puluhan kali. Dan kasuspun terjadi. Dan siapa yang disalahkan adalah hak penikmat berita. Mungkin ada yang menyalahkan pelaku yang tak bermoral lagi, tak menjalankan agama dan lain-lain. Tapi dilain pihak yang konstruksinya mengikuti perubahan akan berasumsi kesalahan utama adalah karena ada kesempatan dalam kesempitan. Dan pencipta kesempatan ini adalah korban yang semestinya menjaga diri dari tradisi pelaku bejat. Korban yang adalah anak SD, seharusnya dikawal perkembangannya oleh orangtua, jangan dibiarkan mengikuti perkembangan zaman yang tidak tahu arusnya kemana. Dan kasus ini, kita tidak tahu kapan berhenti. Hanya saja kita sebagai orang yang bermoral melakukan tindakan pencegahan sebelum bermunculan korban lainnya.

Ingat kejahatan terjadi karena ada kesempatan !

#salamsosiologi ^_^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)