Wakdoyok Indonesian Movie
Scanning Of Indonesian
Entertainment
filsufnya beda amat sama kenyataan |
“Tontonan jadi Tuntunan, Tuntunan jadi Tontonan”
Adalah pribahasa Jawa yang mungkin sudah gak asing lagi di telinga
kita. Meskipun sederhana, ternyata pribahasa ini memiliki arti yang lumayan
mengena. Seakan-akan pribahasa ini dibuat untuk kita, generasi muda yang mulai
dibutakan oleh Zaman.
Yak... sudah sangat jelas, tidak asing lagi bagi siswa SD untuk
nyatakan cinta kepada teman lawan jenisnya. Atau siswa SMP yang sudah berani
gandengan tangan, pelukan, bahkan cipika-cipiki. Atau yang lebih gila lagi,
dunia anak SMA yang sudah seakan kelewat batas. Ke sekolah pakai lipstik, rok
sekolah dibuat ketat melebihi pramugari, hingga baju yang dipermak agar
kemolekan tubuh terlihat. Mo pada belajar
ato mo suting ini wak....
Semua itu karena tontonan remaja yang
disuguhkan oleh kehidupan sekolah yang serba tentang cinta. Pandangan pertama
yang diawali dari tabrakan kecil, dan tangan keduanya bertemu ketika hendak
mengambil buku.
Jika di sinetron TV, siswi SMA menggunakan rok pendek, sampai paha,
menggunakan stocking layaknya di Korea, baju seragam ketat, rambut di cat,
wajah putih bibir merah merona. Well, hal ini jelas tidak masuk akal, namun
remaja kita menjadikan itu sebagai “tuntunan” dalam kehidupan sehari-hari. Tidak
hanya itu, acara-acara TV yang tidak mendidik pun juga sudah menjamur
dimana-mana. Contoh kecil adalah kita melihat seorang kepala plontos yang di
bully bersama, di cela dengan guyonan ikan teri, sedangkan penonton bayaran
tertawa, kemudian disiram bedak putih, dan kita sebagai penonton di rumah ikut
tertawa.
Sedangkan pertanyaanya, apa yang kita tertawakan??? Melihat orang
itu dibully??? Melihat ketika bedak itu disiram? Well, inilah salah satu
penyebab generasi penerus yang sangat suka mencaci maki dan menghujat
seseorang. Hal ini menjadi tuntunan bagi masyarakat. Ketika kita jadi senang
membully seseorang walaupun hanya bercanda. Jika orang itu tersinggung??? Santai
saja, tinggal blang “masa gitu aja baper.”
Selanjutnya, sinetron keluarga yang sangat
disukai kalangan ibu-ibu.
Tentu kita tahu sinetron tukang bubur yang mampu naik haji dari
hasil dagang buburnya? Well, film tersebut adalah satu ide film yang mendidik. Tapi
tidakkah lihat sekarang? Bahkan sampai tokoh utama film itu sudah meninggal,
film itu masih eksis berjalan. Dengan jalan cerita yang mudah ditebak dan alur
protagonis-antagonis yang penyebabnya selalu sama. Antar dengki dan iti, cinta
dan harta.
Jalan cerita yang terlalu banyak drama dan tidak masuk akal inilah
yang menjadi tuntunan bagi masyarakat. Tidakkah kita sering melihat dalam
lingkup tetangga, tidak jarang mereka saling membenci? Membicarakan orang lain?
Menyebar fitnah? Yang sebenarnya semua dilandasi oleh ketidaksukaan dan rasa
iri? Well, lagi-lagi. Tontonan menjadi tuntunan.
Terakhir, kualitas layar lebar indonesia yang
begitu-begitu saja
Tidakkah kita melihat, mayoritas judul film
horror indonesia selalu terselip kata-kata yang akan mengarahkan penonton
kepada sesuatu yang berbau porno.
Contohnya: Tali Pocong Perawan, Suster Keramas, Arwah Goyang
Karawang, Pacar Hantu Perawan, Pocong Mandi Goyang Pinggul, Pelukan Janda Hantu
Gerondong dan lain-lain lah. Masih banyak berserak.
Apalagi film horror indonesia tidak akan terlepas dari wanita cantik
dan seksi, dengan pakaian ketat, dan ada adegan mandi disitu, atau adegan porno
lainnya (walaupun dibuat secara semu
sehingga tidak melanggar Lembaga Sensor, ckckck). Kata seperti perawan,
goyang, janda dan lainnya memang menarik penonton untuk menyaksikan film
tersebut. Ya, justru penonton akan menunggu adegan-adegan yang dinantinya. Bukan
jalan cerita yang menegangkan ataupun momen-momen ketika hantunya menampakkan
diri.
Hal ini justru menjadikan industri film
indonesia seakan menjatuhkan martabatnya sendiri. Sekalian saja buat film
komedi dewasa dan jangan membawa kedok Horror agar nuansa gelap di bioskop
tidak dijadikan ajang buat mesum.
Wajar rasanya jika penikmat film di indonesia lebih suka film luar
negeri daripada negerinya sendiri. Pasalnya, pertelevisian indonesia (termasuk
perfilman) selalu mengutamakan rating, buka kualitas. Sehingga film/tontonan
yang disajikan selalu sama alurnya. Namun pertanyaannya, mengapa rating itu
bisa tinggi? Apakah seburuk itu selera masyarakat kita? Selalu senang menyaksikan
tontonan untuk saling membenci/menghujat daripada mendidik?
Hal ini juga akan membawa masyarakat untuk menjadi Tuntunan hanya
akan menjadi sebuah tontonan. Ketika bulan Ramadhan tiba, mereka beramai-ramai
membuat program acara rohani, tausyiah, bahkan membuat acara yang jika dibulan
lain terlalu vulgar, kini jadi bertemakan religi. Sungguh kemunafikan dan
pencitraan.
Dan ketika bulan Ramadhan berlalu?
Semua kembali seperti semula. Seakan semua hanyalah penyejuk batin
sementara demi mengejar rating dan keuntungan pihak tertentu. Harusnya,
pribahasa “Tontonan jadi tuntunan. Tuntunan jadi tontonan” bisa menjadi
pengingat kta, bahwa apa yang kita tonton akan sangat berpengaruh terhadap pola
pikir dan mental masyarakat. Seharusnya, pemerintah denga “Revolusi Mental”nya
bisa memulai revolusi dari pembenahan terhadap kedua sistem ini. Sehingga kita
sebagai masyarakat akan disuguhkan tayangan yang mendidik dan berkualitas.
Jika kedua sisem itu sudah kemabli pada jalur dan tujuan awalnya,
tentu SDM kita akan meningkat, dan hal ini akan berpengaruh terhadap
meningkatnya daya saing untuk mendorong pertelevisian atau perfilman yang
berkualitas nantinya.
#salamfenomena
Komentar
Posting Komentar