HARKONAS 2016
Mempengaruhi Produk Dalam Negeri
Judul diatas mengingatkan kita akan pencanangan cinta akan produk dalam
negeri yang dalam beberapa dekade ini semakin memudar dengan munculnya dominasi
produk asing. Konsumsi di Indonesia termasuk dalam kategori tertinggi dibanding
negara berkembang lainnya. Menjadi masalah ketika, produk dalam negeri yang
sudah menjadi program pemerintah untuk menyeimbangi kekuatan produk asing lambat
laun tereliminasi.
Indonesia
seakan aman dan nyaman berada di tempatnya sendiri ketika pengaruh globalisasi
ekonomi mulai merambah kehidupan sosial ekonomi sekarang ini. Mulai masuknya
MEA akan memunculkan dilema baru bagi tradisi indonesia yang selama ini
mengandalkan ekonomi kekeluargaan seperti yang terkandung dalam UUD 1945 pasal
33 ayat 1. Bisa saja MEA dapat diterima, tetapi yang menjadi diskusi adalah
bagaimana memaksimalkan produk dalam negeri sehingga tak merosot saat bertarung
melawan arus produk asing.
Berbicara
masalah konsumsi yang menjadi dasar perhelatan MEA tentu tidak akan terlepas
dari apa yang disebut dengan produksi. Sejak awal perkembangan masyarakat,
sebenarnya produksi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Seperti kita
ketahui pada zaman manusia purba kita mengenal dengan namanya meramu dan
berburu. Namun ketika barang yang diproduksi terasa berlebihan maka yang
terjadi adalah pertukaran atau lebih dikenal dengan sebutan Barter dan
berselang lama setelah manusia mengenal alat tukar, maka munculah pasar seperti
apa yang dikemukankan oleh Adam Smith ketika itu.
Kemudian yang menjadi keguncangan
adalah dikarenakan fenomena Revolusi Industri yang pada akhirnya mengubah pola
pikir para produsen yang notabene barang diproduksi tidak hanya sebagai alat
“mencukupi” namun juga menciptakan pola “kebutuhan” pada masyarakat. Ini
merupakan sebuah upaya dari kapitalisme (para produsen) untuk menguasai
kehidupan.
Yang jadi pertanyaan kemudian adalah
bagaimana kita dengan segala lapisan masyarakat Indonesia memandang sebuah
fenomena konsumsi yang kian merajalela ? Pada
dasarnya Marx, seorang tokoh Sosiologi dan Ekonomi, lantang mengecam
kapitalisme dengan berbagai aksi eksploitasinya. Sehingga, tidak mengherankan
bila Marx mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan
kebutuhan masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai
tukar daripada nilai guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan obyek
yang didorong produsen untuk mengkonsumsi. Masyarakat berada pada objek produksi,
di mana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat.
Produk
konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang. Seperti contohnya
adalah mengapa orang lebih suka mengenakan sepatu bermerk “Adidas” dibandingkan
dengan sepatu “Bata”, yang pada dasarnya juga sama-sama sepatu yang berfungsi
sebagai alas kaki. Dalam hal ini konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera,
yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam
masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai
ditentukan oleh kelas yang lebih tinggi. Kelas atas bukan hanya unggul secara
ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni
dalam pola-pola konsumsi. Itulah mungkin sedikit gambaran kecil saya dalam
memandang fenomena konsumsi yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya
Pola
perilaku masyarakat dipengaruhi oleh pola konsumsi dan juga sebaliknya
Pernahkah
kita memperhatikan orang kaya baru di daerah tempat tinggal kita? Dan apa yang
bisa kita lihat dari diri mereka, bagaimana kemudian mereka berinteraksi dengan
tetangga mereka setelah menjadi orang kaya baru, dan simbol apa saja yang
melekat pada dirinya, apakah mobil atau perhiasan yang berjejeran di lengan
orang tersebut? Contoh tersebut adalah sebuah realita kecil di masyarakat
bagaimana kemudian sebuah pola perilaku masyarakat dipengaruhi oleh pola
konsumsi. Mengkonsumsi akan membawa dampak berubahnya konstruksi pada
masyarakat dan menimbulkan budaya baru pada masyarakat.
Dalam
hal ini bisa dikatakan bahwa praktek konsumsi adalah strategi dalam menciptakan
dan membedakan status sosial. Penjelasan lebih lanjutnya adalah sebagai berikut
ini. Seorang produsen menawarkan sebuah produk yang kemudian kuantitas
produksinya terbatas atau sebuah produk yang dianggap memiliki kualitas terbaik
dan dengan imajinasi atas penilaian barang tersebut maka nilai lebihlah yang
kemudian muncul atau melekat dalam barang tersebut. Maka yang timbul adalah
hanya mereka yang memiliki uang lebih saja yang dapat membelinya. Dan seketika
itu pula sebenarnya imajinasi nilai lebih dari barang tersebut juga
terinternalisasi pada masyarakat umum. Sehingga orang yang mengenakan produk
tersebut merasa sebagai orang yang memiliki nilai lebih atas orang lain,
seperti contoh yang ada diatas apabila orang ditawari sepatu bermerk Adidas dan
Bata, maka mayoritas dari mereka pasti akan memilih sepatu Adidas tersebut
dikarenakan bagi mereka sapatu tersebut memiliki nilai lebih. Dan secara tidak
sadar maka yang terjadi adalah perubahan pola perilaku pada masyarakat yang
dipengaruhi oleh pola konsumsi tersebut.
Sekarang
ini adalah era Posmodern dimana manusia tidak lagi mongkonsumsi dikarenakan
untuk mencukupi kebutuhan (need) melainkan lebih kepada keinginan (want).
Karena pada tatanan masyarakat seperti ini (Posmodern) apa yang diutamakan
adalah simbol dan citra. Ditambah lagi dengan perkembangan kota atau urban yang
semakin cepat yang diwujudkan dalam bangunan mall, supermarket dan lain
sebagainya, akhirnya perilaku manusialah yang mempengaruhi pola konsumsi.
Sebagai contoh adalah seserang dengan kekayaan yang mencukupi dan dia sendiri
memiliki hobi mengkoleksi Vespa, dan sering sekali dia memburu vespa keluaran
lama hanya untuk memuaskan hobinya tersebut, dan secara tidak langsung pola
perilaku seperti itulah yang sebenarnya bisa mempengaruhi konsumsi.
Sebab Konsumsi Tinggi di
indonesia
Perilaku konsumtif merupakan suatu
perilaku yang ditandai dengan adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan
segala hal yang dianggap paling mahal dan memberikan kepuasan dan kenyamanan
fisik.
Menurut Sumartono, tokoh masyarakat
dari KADIN Solo, seseorang yang konsumtif mempunyai karakteristik sebagai
berikut
1.
Membeli produk untuk menjaga status,
penampilan dan gengsi.
2. Memakai
sebuah produk karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan
produk tersebut.
3. Adanya
penilaian bahwa dengan memakai atau membeli produk dengan harga yang mahal akan
menimbulkan rasa percaya diri.
4. Membeli
produk dengan pertimbangan harga bukan karena anfaat dan kegunaanya.
5. Membeli
produk karena iming hadiah.
6.
Mencoba produk sejenis dengan dua merk
yang berbeda.
Mengatasi Budaya
Konsumtif
Perilaku konsumtif ibarat candu,
seorang yang kecanduan akan terus melakukan hal yang sama hanya untuk memenuhi
kepuasan sendiri tanpa memikirkan akibatnya.
Berikut kiat yang dapat penulis
berikan sebagai cara mengatasi budaya konsumtif terlebih pada masyarakat
Indonesia.
1.
Membuat daftar belanja yang diinginkan
dan dibutuhkan. Selama ini, sebagian besar orang mengutamakan apa yang ia
inginkan tanpa memikirkan kebutuhan yang sebenarnya.
2. Jangan
terlalu fanatik terhadap suatu barang atau suatu nama perusahaan yang
memproduksi
3. Sadari
seberapa kemampuan ekonomi anda. Tiap orang pasti berbeda dalam hal kemampuan
ekonomi. Jika kemampuan ekonomi anda masih menengah kebawah, sebaiknya
kebutuhan primer adalah target utama pemenuhan kebutuhan.
4.
Berhemat. Hemat artinya membelanjakan
uang hanya untuk sesuatu yang sangat diperlukan menunjang kegiatan sehari-hari.
Jauhi sifat ingin mengetahui sesuatu yang lebih apa yang tidak diperlukan
Masukan
a.
Bagi pemerintah, pemerintah adalah
panutan masyarakat, jika pemerintah meminta sesuatu kepada rakyat untuk
menjalankannya seharusnya pemerintah pun
telah melaksanakannya. Pemerintah harus sigap dalam mematenkan produk-produk
lokal sehingga tidak diklaim negara lain.
b. Bagi
produsen lokal, hendaknya tidak mengacuhkan konsumen dalam negeri dengan cara
hanya menjual barang-barang berkualitas rendah. Produsen lokal juga harus jeli
melihat pasar, jangan menetapkan harga yang tidak sesuai dengan mutu produk
yang dihasilkannya.
c.
Bagi masyarakat, tiidak selayaknya
masyarakat berpikiran bahwa produk dalam negeri kalah saing dengan produk
impor. Kebanggan menggunakan produk dalam negeri sekecil apapun itu merupakan implementasi
rasa cinta tanah air. Maka berbanggalah ketika menggunakannya.
Mari kita mulai mencintai produk dalam negeri sekecil
apapun itu karena langkah –langkah kecil itulah yang nantinya akan menjadi
langkah besar.

Komentar
Posting Komentar