Tugas

AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL

KELOMPOK 3 SOSIOLOGI AGAMA

Agama  adalah sebuah  realitas sosial yang tidak dapat  dielakkan  oleh siapapun, baik dalam masyarakat tradisional maupun  modern. Dimensi pluralitas  yang dipunyai agama  adalah sesuatu yang  sifatnya  neutral values, artinya ia mempunyai potensi konstruktif sekaligus destruktif dalamkehidupan umat manusia. Mengingat pluralitas agama  merupakan keniscayaan  sosiologis, maka  perlu  ditingkatkan  kedewasaan  dalam menerima perbedaan dan memperluas wawasan paham keagamaan, agar perbedaan  yang  ada  bukannya  menambah  potensi konflik melainkan menjadikan  pluralitas  sebagai aset budaya  dan  politik.  Kerusuhan  dan peristiwa kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini merupakan  suatu fenomena  yang amat memilukan  dalam konteks  hidup  beragama  dan  bernegara. Bukan  hanya  dari banyaknya korban  jiwa  yang  jatuh, tapi lebih-lebih  lagi banyak pranata agama, pranata  sosial yang  menjadi amukan  massa.
Agama sebagai tuntunan hidup dan konflik setua manusia, Ia bisa menguatkan solidaritas, menegaskan identitas, otokritik, inspirasi melihat masalah secara jernih dan bahkan terapi kejut bagi bangunan kebersamaan. Tetapi juga bisa menjadi sebab disharmoni dan bahkan ketidakteraturan sosial. Konflik bisa disebabkan banyak faktor seperti politik, ekonomi, budaya dan bahkan agama. Konflik dengan pemicu agama seringkali berakibat luas mengingat sentimen keagamaan yang kental. Diperlukan upaya bersama memposisikan sentimen keagamaan pada posisinya yang tepat agar tidak justru berakibat destruktif.


A.  Latar Belakang

Pada artian teologis, perbedaan dalam ragam dimensinya, tidak terkecuali perbedaan agama, merupakan suatu keniscayaan, sungguhpun sebahagian manusia berupaya menjadikan keragaman tersebut menjadi monolitik. Agama hadir sebagai penyejuk keberagaman, menyadarkan perbedaan dalama tingkatan masyarakat, dan objek pelampiasan syukur.
Pada tilikan sosiologis, manusia dalam hidupnya tidak bisa hidup sendiri. Dibanding makhluk lain, sebutlah misalnya hewan atau tumbuhan, manusia merupakan makhluk dengan tingkat ketergantungan paling tinggi. Dengan demikian, interaksi dengan sesama manusia jelas tidak terhindarkan. Dalam pola dan ragam interaksi muncul konflik sebagai konsekuensi perbedaan perasaan, kebutuhan, keinginan, harapan-harapan dan lain-lain. Interaksi bermuatan konflik pada prinsipnya adalah sejarah kemanusiaan. Karena itu, manusia merupakan makhluk konflik (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa.
Diantara sebab konflik ialah pandangan dunia atau vision de mode yang keliru. Padahal sejatinya, ia sangat penting untuk mengarahkan hidup. Dalam makna lain, melihat bahwa terjadinya spiritual pathology atau spiritual illness pada manusia modern lebih disebabkan karena kesalahan orientasi dalam menjalani hidup. Dengan demikian, pencerahan berkelanjutan diperlukan dalam mendisain hidup yang berkualitas, suatu bentuk kehidupan yang penuh harmoni, memelihara spirit keragaman. Dalam perspektif positif, konflik bisa melahirkan ikatan sosial menguat kembali, penegasan identitas, otoritik terhadap pemahaman keagamaan serta pola-pola beragama serta relasi sosial, inspirasi membangun cara terbaik dalam menjalin kemitraan dengan pemeluk agama, dan yang tidak kalah pentingya sebagai terapi kejut untuk membangun kebersamaan.
Secara umum agama menjadi sumber pokok nilai yang ada dalam kebudayaan. Namun demikian, nilai-nilai tersebut tidak bisa dengan sendirinya mewujud dalam praktek hidup manusia. Dengan kata lain, nilai, gagasan, spirit yang diperkenalkan agama, masih bersifat pasif. Tentunya, operasionalisasinya menjadi tugas berat para pemeluknya. Di sinilah salah satu letak masalahnya. Sejauh mana agama bisa membantu proses internalisasi nilai dimaksud tersebut. Pada poin ini, harus dibedakan antara kekayaan pikiran dan kaidah-kaidah agama yang ada dalam kitab suci, atau buku agama, dengan kemampuan pemeluknya atau lembaganya untuk memegang peran peradaban, atau pengendali sejarah. Ketidakmampuan menerjemahkan pesan-pesan wahyu, berakibat kehilangan orientasi atau kegamangan dan bahkan keputusasaan yang merupakan salah satu problema keagamaan. Persoalan inilah bisa jadi menjadi salah satu sebab kehidupan harmoni sulit tercipta dalam bentuk sebenarnya.


B.       Pengertian Konflik

Sebagai serapan dari bahasa Inggris conflict, mengartikan konflik sebagai  percekcokan, perselisihan, pertentangan. Conflict sendiri berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Konflik dalam definisi ini diartikan sebagai ketidakpahaman atau ketidaksepakatan antara kelompok atau gagasan-gagasan yang berlawanan.Ia juga bisa berarti perang, atau upaya berada dalam pihak yang bersebrangan. Atau dengan kata lain, ketidaksetujuan antara beberapa pihak.
Kalau dikaitkan dengan istilah sosial, maka konflik sosial bisa diartikan sebagai suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Dengan kata lain interaksi atau proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau setidaknya membuatnya tidak berdaya.
Konflik  sosial terjadi antara dua kelompok  atau  lebih, yang  terwujud dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari kelompok-kelompok  yang  berlawanan. Dalam konflik  sosial, jatidiri dari orang  perorang  dalam konflik tersebut diganti oleh  jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata lain, dalam konflik sosial, yang terjadi bukanlah konflik antara orang  perorang  dengan jatidiri masing-masing, melainkan antara orang perorang yang mewakili jatidiri dari golongan atau kelompoknya.
Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antargolongan yang terwakili oleh kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik sosial, tidak  lagi ada tindakan memilah-milah dan menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok  yang  tergolong  dalam golongan yang menjadi musuh atau  lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak lawan, dilihatnya sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan. Kerusuhan dan peristiwa kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini merupakan suatu  fenomena yang  amat memilukan dalam konteks hidup  beragama dan bernegara. Bukan hanya dari banyaknya korban jiwa yang jatuh, tapi lebih-lebih lagi banyak pranata agama, pranata sosial yang menjadi amukan massa. Hal ini terlihat jelas dari peristiwa Ambon, Maluku, Ketapang, Aceh, Mataram, dan sederetan peristiwa lainnya yang  banyak mengorbankan jiwa manusia. Dalam peristiwa ini telah terjadi dehumanisasi, harga diri dan hak-hak asasi manusia sudah tidak dipandang lagi.

Konflik sebagai situasi dimana para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain dalam menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri permusuhan. Adapun definisi klasik mengenai konflik dikemukakan Louis Coser, berikut ini:
a struggle over values and claims to secure status, power, and resources, a struggle in which the main aims of opponents are to neutralize, injure, or eliminate rivals”
Berdasarkan definisi ini mengartikan konflik keagamaan sebagai, “perseteruan menyangkut nilai, klaim dan identitas yang melibatkan isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai dalam slogan atau ungkapan keagamaan” Dari ragam definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa konflik merupakan pertentangan atau perselisihan yang bisa mengambil bentuk perselisihan atau pertentangan ide maupun fisik. Atau dengan kata lain, adanya interaksi yang terjadi namun dipisahkan oleh perbedaan tujuan sehingga melahirkan ketidaksetujuan, kontroversi atau bahkan pertentangan.

C.      Faktor Faktor Penyebab Konflik

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa steril dari interaksi, baik sosial, politik, budaya, agama dan lain-lain. Perbedaan ciri-ciri bawaan individu dalam suatu interaksi seperti ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya menjadikan konflik sebagai situasi wajar dalam setiap masyarakat. Dengan kata lain, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Dalam ranah interaksi tersebut, kepentingan dan penegasan identitas akan muncul dalam skala berbeda seperti konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antar-kelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical conflict),  dan konflik antar negara (interstate conflict). Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan telah menjadi kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan  sebagai wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat dasariyah. Dalam kaitan ini, sejarah membuktikan manusia telah menjadi pemangsa manusia lainnya
  Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama. Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya.
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat manusia akan teredam jika faktor kesamaan agama itu didahulukan.
Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran). Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik agama.
Selain faktor yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada faktor-faktor keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat beragama. Di antaranya:
1) Penyiaran agama,
2)Bantuan keagamaan dari luar negeri,
3) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda,
4) Pengangkatan anak,
5)Pendidikan agama,
6)Perayaan hari besar keagamaan,
7)Perawatan dan pemakaman jenazah,
8)Penodaan agama,
9)Kegiatan kelompok sempalan
10)Transparansi informasi keagamaan dan
11)Pendirian rumat ibadat.

Penyiaran agama merupakan perintah agama untuk sebagain agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang sifatnya terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan antar umat beragama.
Faktor lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama dilakukan untuk mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa lama, orang yang bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak pasangannya untuk memeluk agama tersebut.
Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain. Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan, suatu kelompok agama.
Selain itu beberapa faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat adalah sebagai berikut:

1.      Perbedaan antar perorangan

Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain.

2.      Perbedaan Kebudayaan

Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam lingkungan kelompok masyarakat yang samapun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan, karena kebudayaan lingkungan keluarga yang membesarkannya tidak sama. Yang jelas, dalam tataran kebudayaan ini akan terjadi perbedaan nilai dan norma yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran yang dipakai oleh satu kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang dipakai oleh kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial.


3.      Bentrokan Kepentingan

Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan kelompok lain.
Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap anti agama sementara yang terakhir mencoba menyamakan agama-agama, dengan berlindung di balik topeng pluralisme agama. jika ditinjau dari keseluruhan aspek
konflik antara umat beragama jika dianalisa lebih jauh, tidak seluruhnya disebabkan karena perbedaan konsepsi di antara pemeluk agama. Faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya sering lepas dari pengamatan, sehingga agama dijadikan alat legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan radikal kelompok satu terhadap yang lainnya.

Dewasa ini, di dunia ketiga, konflik bisa disebabkan oleh adanya perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang, bentrokan kultural serta gerakan-gerakan pembebasan Ketegangan-ketegangan pada level kebudayaan misalnya, sangat terkait dengan pembangunan. Kebudayaan dan agama merupakan faktor-faktor unik mengingat keduanya  merupakan unsur penggerak (mobilizing elementas). Meskipun demikian, konflik yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh ketidakadilan, sehingga mestinya para penguasa, pemuka agama, pemimpin politik menyadari bahwa prasyarat kedamaian yaitu keadilan. Dengan kata lain, struktur yang merampas hak-hak dan martabat manusia akan menghambat terciptanya keadilan
Dalam kaitan dengan agama, George Ritzer memandang bahwa terjadinya perubahan sosial, yang tentunya diikuti oleh ragam konflik, sebagai akibat  adanya revolusi politik, revolusi industri atau bahkan urbanisasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pola keberagamaan.Relevansi yang kuat ini melahirkan banyak sosiolog dan karyanyadengan basis agama yang kuatdan sekaligus memperkenalkan sosiolog.
Dalam diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma ilahi. Potensi destruktif dalam diri bisa mendominasi kalau tidak dinetralisir oleh pengembangan potensi kebaikan dan lingkungan. Dengan kata lain, konflik secara laten ada dalam diri manusia. Potensi konflik ini bisa teraktualisasi kalau keliru memahami ajaran agama. Dan bisa juga dipercepat oleh lingkungan baik ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

D.      Isu, Dampak dan Penyelesaian konflik Keagamaan di Indonesia

1.    Isu-Isu Konflik Keagamaan
Isu keagamaan yang menyebabkan konflik keagamaan di Indonesia terdiri dari 6 kategori. Pertama, isu moral, seperti isu-isu perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan asusila, prostitusi, pornografi/pornoaksi.Isu-isu moral lainnya seperti antikorupsi juga dimasukkan ke dalam isu keagamaan selama isu tersebut melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi keagamaan.
Kedua, isu sektarian, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait interpretasi atau pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok keagamaan. Dalam Islam, kelompok Ahmadiyah, Lia-Eden dan Al Qiyadah Al Islamiyah adalah di antara kelompok-kelompok keagamaan yang kerap memicu berbagai insiden protes maupun kekerasan, baik yang dilakukan oleh kelompok keagamaan maupun warga masyarakat secara umum. Sedangkan dalam komunitas Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menjadi contoh yang mewakili isu sektarian ini.
Ketiga, isu komunal, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan antarkomunitas agama, seperti konflik Muslim-Kristen, maupun perseteruan antara kelompok agama dengan kelompok masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa diidentifikasi berasal dari kelompok agama tertentu.Isu seperti penodaan agama, seperti dalam kasus karikatur tentang Nabi Muhammad, dimasukkan dalam kategori isu komunal ini. Perlu ditegaskan: Perseteruan atau bentrok menyangkut suatu isu keagamaan – sepanjang kedua belah pihak yang terlibat tidak dapat diidentifikasi berasal atau mewakili komunitas keagamaan yang sama juga dimasukkan dalam isu ini. Jika kedua belah pihak pelaku dapat diidentifikasi berasal dari komunitas agama yang sama, maka konflik semacam itu akan dimasukkan dalam kategori isu sektarian.
Keempat, isu terorisme, yaitu isu yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror dengan sasaran kelompok keagamaan atau hak milik kelompok keagamaan tertentu, maupun serangan teror yang ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing. Tindakan kekerasan ini kerap disebut juga sebagai tindak terorisme keagamaan (religious terrorism), yang dipandang sebagai “tindakan simbolik” atau performance violence, ketimbang suatu tindakan taktis atau strategis. Untuk kasus Indonesia, contohnya adalah pengeboman di Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, dan berbagai serangan bom di Jakarta. Adapun kekerasan berupa serangan teror di wilayah konflik komunal, maupun insiden yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik di wilayah komunal tertentu seperti Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon, Maluku, dimasukkan dalam kategori ketiga di atas, yaitu isu komunal.
Kelima, isu politik-keagamaan, yaitu isu-isu yang melibatkan sikap anti terhadap kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing lainnya dan sikap kontra ideologi/kebudayaan Barat atau asing lainnya. Termasuk ke dalam isu politik-keagamaan di sini adalah isu penerapan Kristianisme atau Islamisme,  serta pro-kontra menyangkut kebijakan pemerintah Indonesia yang berdampak pada komunitas keagamaan tertentu. Terakhir, keenam, meliputi isu subkultur keagamaan mistis seperti santet, tenung dan sebagainya, maupun isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 5  kategori sebelumnya.
Data-data di atas memperlihatkan bahwa pola dan isu konflik keagamaan sangat variatif dan beragam. Bisa juga dilihat konflik keagamaan berwujud aksi damai dan aksi kekerasan. Yang pertama merupakan tindakan tanpa kekerasan dalam merespon isu keagamaan yang sementara diperselisihkan. Termasuk di dalamnya aksi protes, aksi dukungan maupun aksi mediasi. Yang kedua, tindakan atau aksi kekerasan fisik dalam merespon isu keagamaan yang diperselisihkan dan berakibat mati, luka, hilang, mengungsi pada orang, atau kerugian, kerusakan atau kehilangan harta benda.

2.      Dampak Konflik Sosial Agama
Dalam kehidupan masyarakat majemuk sering terjadi pertentangan antara satu aspek dengan aspek lainnya terkhusus dalam masyarakat yang berbeda agama. Sehingga terdapat potensi konflik yang rentan terjadi dalam kehidupan masyarakat. Setiap konflik yang terjadi dalam masyarakat akan membawa dampak, baik dampak secara langsung maupun dampak secara tidak langsung.
1.      Dampak Secara Langsung

Dampak secara langsung merupakan dampak yang secara langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Masyarakat yang terlibat konflik sosial agama menimbulkan keretakan hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya. Selain itu adanya perubahan kepribadian seseorang seperti selalu memunculkan rasa curiga, rasa benci, dan akhirnya dapat berubah menjadi tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap musuh. Jika konflik terus berlanjut bisa menimbulkan keruguian seperti hancurnya harta benda dan korban jiwa. Hal itu terjadi jika konflik berubah menjadi tindakan kekerasan apalagi jika diikuti perusakan fasilitas umum.
Selain itu konflik juga dapat mengakibatkan kemiskinan yang semakin bertambah akibat tidak kondusifnya keamanan, lumpuhnya roda perekonomian jika suatu konflik berlanjut menjadi tindakan kekerasan.

2.      Dampak Tidak Langsung

Dampak tidak langsung merupakan dampak yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam sebuah konflik ataupun dampak jangka panjang dari suatu konflik yang tidak secara langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Misalnya pada kasus terorisme bom di pulau Bali yaitu dimana seseorang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan agama mengebom beberapa tempat di Bali yang penuh dengan turis asing sehingga menimbulkan banyak korban.

Adapun dampak positif dan dampak negatif dari konflik sosial agama adalah :
1)      Dampak Negatif
Dampak negatif merupakan dampak yang tidak bisa dihindari oleh orang-orang yang berkonflik. Dampak negatif tersebut meliputi:


a.       keretakan hubungan antar kelompok.
Sebuah konflik antar kelompok mau tidak mau, meskipun telah berdamai, pasti tetap meninggalkan kebencian pada beberapa individu dalam kelompok tertentu yang memiliki perbedaan anata ras dan agama.

b.      Perubahan Kepribadian pada Individu.
Individu-individu yang ada dalam kelompok sosial tertentu akan mengalami perubahan sifat. Biasanya mereka akan diliputi perasaan marah, curiga, dan membenci orang-orang yang menjadi lawan konfliknya. Terkadang kepribadian seseorang lambat laun akan berupah menjadi seseorang yang diliputi kecemasan. Ia tidak akan merasa tenang karena khawatir jika konflik akan terjadi lagi. Ia diliputi rasa curiga jika kelompok yang dulunya berkonflik dengan mereka kembali menyulut permasalahan.

c.       Kerusakan Harta Benda dan Jatuhnya Korban Jiwa.
Konflik yang sifatnya merusak bisa berakibat rusaknya harta benda yang dimiliki oleh kelompok sosial tertentu. Konflik sosial sering diikuti dengan tindakan anggota kelompok dari masing-masing kubu untuk bertindak dengan mengandalkan kekerasan. Kerusakan tempat tinggal, fasilitas umum, dan lain sebagainya, merupakan bukti konkret bahwa konflik sosial justru berakibat buruk terhadap kepemilikan harta benda dari masing-masing kelompok.

d.      Terjadi Dominasi dan Penaklukan.
Adanya konflik yang melibatkan dua kelompok tertentu di antara mereka ingin menunjukkan dominasi mereka. Salah satu dari dari kelompok tersebut ingin menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dan lebih berkuasa terhadap suatu hal. Akibatnya, timbul keinginan untuk menaklukkan kelompok yang bertentangan dengan kelompok tersebut.

2)      Dampak Positif

a)      Meningkatkan solidaritas kelompok.
Sebuah kelompok memiliki pihak lain yang diidentifikasikan sebagai musuh bersama. Dengan ini setiap anggota kelompok tersebut akan bekerja sama untuk menyingkirkan pihak yang diidentifikasikan sebagai musuh bersama tadi.
b)      Menciptakan Integrasi yang harmonis.
Integrasi yang dimaksud adalah adanya kesatuam yang semakin kuat antar masyarakat setelah konflik berakhir.
c)      Memperkuat identitas pihak yang berkonflik.
Dengan adanya konflik, pihak-pihak yang terlibat semakin memahami identitasnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota dari sebuah kelompok.
d)     Membawa Wawasan.
Konflik juga bisa membawa wawasan kedua belah pihak yang bertikai.
e)      Membentuk Kepribadian.
Konflik sosial yang dilakukan dengan persaingan yang baik akan menumbuhkan sifat jujur dari kelompok-kelompok yang bersaing. Kejujuran itu akan menumbuhkan jiwa sosial dan diri seseorang.
Berbagai akibat dapat terjadi ketika konflik terjadi. Konflik sosial yang sifatnya mengandalkan kekerasan dan anarkisme dan melibatkan agama pada sebagian besar akan menimbulkan dampak negatif.

3.      Penyelesaian Konflik Sosial Agama

Gambaran mengenai kemampuan bangsa Indonesia menjalin kebersamaan dalam perbedaan, bisa dilihat pada hasil kajian di atas. Rupanya perbedaan, atau katakanlah konflik masih lebih banyak diekspresikan dalam bentuk damai dari pada kekerasan. Fakta tersebut bisa jadi hasil dari serangkaian upaya kreatif dan terus menerus dari masyarakat, terutama kalangan intelektual untuk mengurangi potensi konflik. Meskipun demikian, tidak berarti konflik menjadi hilang sama sekali. Potensi konflik masih tetap ada selama keadilan pada hampir semua aspek kehidupan belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Dalam kaitan dengan konflik, apalagi kalau dikaitkan dengan agama, kemampuan bangsa Indonesia mengapresiasi konflik secara lebih positif, seperti terlihat dari data di atas, cukup menggembirakan. Kemampuan adaptif tersebut bisa jadi karena disemangati oleh nilai-nilai ‘toleran’ yang diajarkan setiap agama yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, meskipun setiap agama mengandung dokrin-dokrin eksklusif tersebut, namun juga mengajarkan banyak dokrin inklusif.  Inklusifitas ajaran setiap agama bisa dilihat tidak hanya pada tingkatan dokrin serta gagasan, tetapi telah mewujud dalam perjalanan panjang peradaban agama, tidak terkecuali Indonesia.
Merujuk pada beberapa referensi dan pengalaman penyelesaian permasalahan serupa, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik umat beragama khususnya dalam masyarakat yang memiliki watak fanatik dan keras Membuka ruang publik dan dialog antara masyarakat beragama dan pemerintah. Pada beberapa kasus agama bukanlah menjadi faktor mendasar mengapa konflik terjadi. Konflik terjadi disebabkan rendahnya intensitas komunikasi antara kelompok-kelompok beragama. Penguatan lembaga-lembaga non pemerintahan (LSM) yang bergerak dalam bidang kerukunan umat beragama. Selama ini tidak banyak LSM yang berkonsentrasi pada isu konflik umat beragama. Namun dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir seiring maraknya kasus konflik umat beragama mulai muncul beberapa LSM yang memiliki konsen pada itu tersebut. Salah satunya adalah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang merupakan forum yang diharapkan dapat mencetuskan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi terjadinya konflik umat beragama.
Dalam rangka resolusi konflik, banyak hal yang perlu dilihat. Dalam waktu singkat, konflik yang ada kalau bersifat frontal, harus diredakan terlebih dahulu. Bisa dengan pendekatan hukum yang tegas. Dalam jangka panjang, dicarikan solusi dengan misalnya mencari akar masalah, mengkampanyekan pendidikan yang berdimensi pluralistik, ceramah yang penuh hikmah dengan muatan yang tidak memicu konflik. Yang tidak kalah pentingnya ialah mewujudkan keadilan dalam semua ranah keidupan masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial, budaya maupun agama.

E.  Kesimpulan
1.    Secara sosiologis manusia memerlukan tidak hanya manusia lain tetapi juga alam lingkungan. Dengan demikian interaksi menjadi keniscayaan. Dalam ragam interaksi, konflik pasti akan hadir sebagai konsekuensi perbedaan kecenderungan, kebutuhan, nilai budaya, agama, politik, sosial, ekonomi dan lain-lain.
2.    Konflik  bisa diartikan pertikaian atau  perselisihan yang bisa terjadi antar individu, kelompok, maupun Negara yang bisa mengambil bentuk fisik atau gagasan/non-fisik. Sementara konflik keagamaan merupakan perseteruan mengenai nilai, klaim, identitas yang melibatkan isu-isu kegamaan. Selain itu juga bisa berwujud aksi damai maupun kekerasan.
3.    Konflik bisa disebabkan beberapa faktor seperti: perbedaan pendirian dan perasaan individu; perbedaan latar belakang kebudayaan; perbedaan kepentingan; perubahan nilai yang cepat. Konflik keagamaan terjadi karena: klaim kebenaran yang rigid/kaku; wilayah agama dan suku/adat memudar; dokrin jihad dipahami secara sempit; kurangnya sikap toleran dan minimnya pemahaman ideologi pluralism.
Isu-isu konflik keagamaan di Indonesia seperti isu moral, isu sektarian, isu komunal, terorisme, isu politik-keagamaan, dll, bisa diminimalisir dengan adanya pendekatan hukum yang tegas dan adil, pendidikan dan dakwah yang berdimensi pluralistik dan penuh kebijaksanaan, serta mengupayakan terciptanya keadilan dalam semua ranah kehidupan masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya maupun agama.













Daftar Pustaka


Horton, Paul B. & Chester L. Hunt. (1999). Sosiologi (terjemahan). Jilid  I.

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama.Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.

Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999), edisi Baru ke-4, cet.27.

Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.Cet. 2; Jakarta: Kencana,2010



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)