Tugas
AGAMA
DAN KONFLIK SOSIAL
KELOMPOK 3 SOSIOLOGI AGAMA
Agama adalah sebuah
realitas sosial yang tidak dapat
dielakkan oleh siapapun,
baik dalam masyarakat tradisional maupun
modern. Dimensi pluralitas yang dipunyai agama adalah sesuatu yang sifatnya
neutral values,
artinya ia mempunyai potensi konstruktif sekaligus destruktif dalamkehidupan umat
manusia. Mengingat pluralitas agama
merupakan keniscayaan sosiologis, maka perlu
ditingkatkan kedewasaan dalam menerima
perbedaan dan memperluas wawasan paham keagamaan, agar perbedaan
yang ada bukannya menambah potensi konflik melainkan menjadikan pluralitas
sebagai aset budaya dan politik.
Kerusuhan dan peristiwa
kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia belakangan
ini merupakan suatu fenomena yang amat memilukan dalam konteks hidup
beragama dan bernegara. Bukan hanya
dari banyaknya korban
jiwa yang jatuh, tapi lebih-lebih lagi banyak pranata agama, pranata
sosial yang menjadi amukan massa.
Agama sebagai tuntunan hidup dan konflik setua manusia, Ia bisa menguatkan
solidaritas, menegaskan identitas, otokritik, inspirasi melihat masalah secara
jernih dan bahkan terapi kejut bagi bangunan kebersamaan. Tetapi juga bisa
menjadi sebab disharmoni dan bahkan ketidakteraturan sosial. Konflik bisa
disebabkan banyak faktor seperti politik, ekonomi, budaya dan bahkan agama.
Konflik dengan pemicu agama seringkali berakibat luas mengingat sentimen
keagamaan yang kental. Diperlukan upaya bersama memposisikan sentimen keagamaan
pada posisinya yang tepat agar tidak justru berakibat destruktif.
A. Latar
Belakang
Pada artian teologis, perbedaan dalam ragam dimensinya, tidak terkecuali perbedaan
agama, merupakan suatu keniscayaan, sungguhpun sebahagian manusia berupaya
menjadikan keragaman tersebut menjadi monolitik. Agama
hadir sebagai penyejuk keberagaman, menyadarkan perbedaan dalama tingkatan
masyarakat, dan objek pelampiasan syukur.
Pada tilikan sosiologis, manusia dalam hidupnya tidak
bisa hidup sendiri. Dibanding makhluk lain, sebutlah misalnya hewan atau
tumbuhan, manusia merupakan makhluk dengan tingkat ketergantungan paling
tinggi. Dengan demikian, interaksi dengan sesama manusia jelas tidak
terhindarkan. Dalam pola dan
ragam interaksi muncul konflik sebagai konsekuensi perbedaan perasaan,
kebutuhan, keinginan, harapan-harapan dan lain-lain. Interaksi bermuatan konflik pada prinsipnya adalah sejarah kemanusiaan. Karena itu,
manusia merupakan makhluk konflik (homo conflictus), yaitu makhluk yang
selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela
maupun terpaksa.
Diantara sebab konflik ialah pandangan dunia atau vision de mode yang keliru.
Padahal sejatinya, ia sangat penting untuk mengarahkan hidup. Dalam makna lain, melihat bahwa
terjadinya spiritual pathology
atau spiritual illness pada
manusia modern lebih disebabkan karena kesalahan orientasi dalam menjalani
hidup. Dengan
demikian, pencerahan berkelanjutan diperlukan dalam mendisain hidup yang
berkualitas, suatu bentuk kehidupan yang penuh harmoni, memelihara spirit
keragaman. Dalam
perspektif positif, konflik bisa melahirkan ikatan sosial menguat kembali,
penegasan identitas, otoritik terhadap pemahaman keagamaan serta pola-pola
beragama serta relasi sosial, inspirasi membangun cara terbaik dalam menjalin
kemitraan dengan pemeluk agama, dan yang tidak kalah pentingya sebagai terapi
kejut untuk membangun kebersamaan.
Secara umum agama menjadi sumber pokok nilai yang ada
dalam kebudayaan. Namun demikian, nilai-nilai tersebut tidak bisa dengan sendirinya
mewujud dalam praktek hidup manusia. Dengan kata lain, nilai, gagasan, spirit
yang diperkenalkan agama, masih bersifat pasif. Tentunya, operasionalisasinya
menjadi tugas berat para pemeluknya. Di sinilah salah satu letak masalahnya. Sejauh mana
agama bisa membantu proses internalisasi nilai dimaksud tersebut. Pada poin
ini, harus dibedakan antara kekayaan pikiran dan kaidah-kaidah agama yang ada
dalam kitab suci, atau buku agama, dengan kemampuan pemeluknya atau lembaganya
untuk memegang peran peradaban, atau pengendali sejarah. Ketidakmampuan
menerjemahkan pesan-pesan wahyu, berakibat kehilangan orientasi atau kegamangan
dan bahkan keputusasaan yang merupakan salah satu problema keagamaan.
Persoalan inilah bisa jadi menjadi salah satu sebab
kehidupan harmoni sulit tercipta dalam bentuk sebenarnya.
B. Pengertian
Konflik
Sebagai serapan dari bahasa Inggris conflict, mengartikan konflik sebagai percekcokan, perselisihan,
pertentangan. Conflict sendiri berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti
saling memukul. Konflik dalam
definisi ini diartikan sebagai ketidakpahaman atau ketidaksepakatan antara
kelompok atau gagasan-gagasan yang berlawanan.Ia juga bisa berarti perang, atau
upaya berada dalam pihak yang bersebrangan. Atau dengan kata lain,
ketidaksetujuan antara beberapa pihak.
Kalau
dikaitkan dengan istilah sosial, maka konflik sosial bisa diartikan sebagai
suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam
kehidupan. Dengan kata lain interaksi atau proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau setidaknya
membuatnya tidak berdaya.
Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau
lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik fisik antara
mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari
kelompok-kelompok yang berlawanan. Dalam konflik sosial, jatidiri dari orang perorang
dalam konflik tersebut diganti
oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata lain, dalam
konflik sosial, yang terjadi bukanlah konflik antara
orang perorang dengan jatidiri masing-masing, melainkan
antara orang perorang yang
mewakili jatidiri dari golongan atau kelompoknya.
Atribut-atribut
yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku
dalam kehidupan antargolongan yang terwakili oleh
kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik sosial, tidak lagi ada tindakan memilah-milah
dan menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan
kelompok yang tergolong
dalam golongan yang menjadi
musuh atau lawannya, sehingga
penghancuran atas diri dan harta milik orang
perorang dari pihak lawan, dilihatnya sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan. Kerusuhan
dan peristiwa kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini merupakan
suatu fenomena yang amat memilukan dalam
konteks hidup beragama dan bernegara.
Bukan hanya dari banyaknya korban
jiwa yang jatuh, tapi lebih-lebih lagi banyak pranata agama, pranata sosial yang menjadi amukan massa. Hal ini
terlihat jelas dari peristiwa Ambon, Maluku, Ketapang, Aceh, Mataram, dan sederetan
peristiwa lainnya yang banyak mengorbankan
jiwa manusia. Dalam peristiwa ini telah terjadi dehumanisasi, harga diri dan hak-hak asasi manusia
sudah tidak dipandang lagi.
Konflik sebagai situasi dimana para aktor menggunakan perilaku konflik
melawan satu sama lain dalam menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau
mengekspresikan naluri permusuhan. Adapun definisi klasik mengenai konflik
dikemukakan Louis Coser, berikut ini:
“a struggle over values and claims to secure
status, power, and resources, a struggle in which the main aims of opponents
are to neutralize, injure, or eliminate rivals”
Berdasarkan definisi ini mengartikan konflik keagamaan sebagai, “perseteruan
menyangkut nilai, klaim dan identitas yang melibatkan isu-isu keagamaan atau
isu-isu yang dibingkai dalam slogan atau ungkapan keagamaan”
Dari ragam definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa konflik merupakan
pertentangan atau perselisihan yang bisa mengambil bentuk perselisihan atau
pertentangan ide maupun fisik. Atau
dengan kata lain, adanya interaksi yang terjadi namun
dipisahkan oleh perbedaan tujuan sehingga melahirkan ketidaksetujuan,
kontroversi atau bahkan pertentangan.
C. Faktor
Faktor Penyebab Konflik
Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak bisa steril dari interaksi, baik sosial, politik,
budaya, agama dan lain-lain. Perbedaan ciri-ciri bawaan individu dalam suatu interaksi
seperti ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya menjadikan konflik sebagai situasi wajar dalam setiap masyarakat.
Dengan kata lain, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri. Dalam
ranah interaksi tersebut, kepentingan dan penegasan identitas akan muncul dalam
skala berbeda seperti konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antar-kelompok (intergroup conflict), konflik antar
kelompok dengan negara (vertical
conflict), dan konflik antar
negara (interstate conflict). Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan telah
menjadi kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek
internal manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai wujud frustasi dari suatu dorongan
libidinal yang bersifat dasariyah. Dalam
kaitan ini, sejarah membuktikan manusia telah menjadi pemangsa manusia lainnya
Perbedaan
konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak
dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu-
terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan
kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara
umat berbeda agama. Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok
lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya
genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh,
membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya.
Cara
pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah
menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian
dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat
manusia akan teredam jika faktor kesamaan agama itu didahulukan.
Penyebab
konflik terkadang disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran). Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan
dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan
ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik agama.
Selain
faktor yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada
faktor-faktor keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan
konflik di antara umat beragama. Di antaranya:
1)
Penyiaran agama,
2)Bantuan
keagamaan dari luar negeri,
3)
Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda,
4)
Pengangkatan anak,
5)Pendidikan
agama,
6)Perayaan
hari besar keagamaan,
7)Perawatan
dan pemakaman jenazah,
8)Penodaan
agama,
9)Kegiatan
kelompok sempalan
10)Transparansi
informasi keagamaan dan
11)Pendirian
rumat ibadat.
Penyiaran
agama merupakan perintah agama untuk sebagain agama. Kegiatan ini sering
dilakukan tanpa disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk
agama lain, untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Akibat
terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang sifatnya
terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan
antar umat beragama.
Faktor
lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia,
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya
hubungan antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah
satu alat untuk mengajak pasangan agar berpindah agama. Konversi agama
dilakukan untuk mengesahkan perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung beberapa
lama, orang yang bersangkutan kembali ke agamanya semula dan mengajak
pasangannya untuk memeluk agama tersebut.
Kasus
yang juga sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat. Kehadiran
sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan
memicu konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan
menganut agama lain. Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai
tempat untuk melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga
sebagai simbol keberadaan, suatu kelompok agama.
Selain
itu beberapa faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat adalah sebagai
berikut:
1. Perbedaan antar perorangan
Perbedaan ini dapat berupa perbedaan
perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah
individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku
antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat
menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani
sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan
dengan individu yang lain.
2. Perbedaan
Kebudayaan
Perbedaan kebudayaan mempengaruhi
pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang
bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan dalam
masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap individu dibesarkan dalam
lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam lingkungan kelompok masyarakat
yang samapun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan,
karena kebudayaan lingkungan keluarga yang membesarkannya tidak sama. Yang
jelas, dalam tataran kebudayaan ini akan terjadi perbedaan nilai dan norma yang
ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran yang dipakai oleh satu kelompok atau
masyarakat tidak akan sama dengan yang dipakai oleh kelompok atau masyarakat
lain. Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian dan menghormati perbedaan
tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya
konflik sosial.
3. Bentrokan
Kepentingan
Bentrokan kepentingan dapat terjadi
di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini karena setiap individu
memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan
sesuatu. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok tentu juga akan memiliki
kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan kelompok lain.
Implikasi
yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub pemikiran. Yang pertama bersikap
anti agama sementara yang terakhir mencoba menyamakan agama-agama, dengan
berlindung di balik topeng pluralisme agama. jika ditinjau dari keseluruhan
aspek
konflik
antara umat beragama jika dianalisa lebih jauh, tidak seluruhnya disebabkan
karena perbedaan konsepsi di antara pemeluk agama. Faktor-faktor politik,
sosial, ekonomi, dan sebagainya sering lepas dari pengamatan, sehingga agama
dijadikan alat legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan radikal kelompok
satu terhadap yang lainnya.
Dewasa
ini, di dunia ketiga, konflik bisa
disebabkan oleh adanya perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang, bentrokan
kultural serta gerakan-gerakan pembebasan Ketegangan-ketegangan pada level
kebudayaan misalnya, sangat terkait dengan pembangunan. Kebudayaan dan agama
merupakan faktor-faktor unik mengingat keduanya
merupakan unsur penggerak (mobilizing
elementas). Meskipun demikian, konflik yang
terjadi lebih banyak disebabkan oleh ketidakadilan, sehingga mestinya para
penguasa, pemuka agama, pemimpin politik menyadari bahwa prasyarat kedamaian
yaitu keadilan. Dengan kata lain, struktur yang merampas hak-hak dan
martabat manusia akan menghambat terciptanya keadilan
Dalam
kaitan dengan agama, George Ritzer memandang bahwa terjadinya perubahan sosial,
yang tentunya diikuti oleh ragam konflik, sebagai akibat adanya revolusi politik, revolusi industri
atau bahkan urbanisasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pola
keberagamaan.Relevansi yang kuat ini melahirkan banyak sosiolog dan karyanyadengan
basis agama yang kuatdan sekaligus memperkenalkan sosiolog.
Dalam
diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang selalu berusaha menarik dirinya
untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma ilahi. Potensi destruktif dalam
diri bisa mendominasi kalau tidak dinetralisir oleh pengembangan potensi
kebaikan dan lingkungan. Dengan kata lain, konflik secara laten ada dalam diri
manusia. Potensi konflik ini bisa teraktualisasi kalau keliru memahami ajaran
agama. Dan bisa juga
dipercepat oleh lingkungan baik ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.
D. Isu, Dampak dan Penyelesaian konflik Keagamaan di
Indonesia
1. Isu-Isu
Konflik Keagamaan
Isu
keagamaan yang menyebabkan konflik keagamaan di
Indonesia terdiri dari 6 kategori. Pertama,
isu moral, seperti isu-isu perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan
asusila, prostitusi, pornografi/pornoaksi.Isu-isu moral lainnya seperti
antikorupsi juga dimasukkan ke dalam isu keagamaan selama isu tersebut
melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai oleh para aktor yang terlibat
dalam slogan atau ekspresi keagamaan.
Kedua, isu sektarian, yaitu isu-isu
yang melibatkan perseteruan terkait interpretasi atau pemahaman ajaran dalam
suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok
keagamaan. Dalam Islam, kelompok Ahmadiyah, Lia-Eden dan Al Qiyadah Al
Islamiyah adalah di antara kelompok-kelompok keagamaan yang kerap memicu
berbagai insiden protes maupun kekerasan, baik yang dilakukan oleh kelompok
keagamaan maupun warga masyarakat secara umum. Sedangkan dalam komunitas
Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)
menjadi contoh yang mewakili isu sektarian ini.
Ketiga, isu komunal, yaitu isu-isu
yang melibatkan perseteruan antarkomunitas agama, seperti konflik
Muslim-Kristen, maupun perseteruan antara kelompok agama dengan kelompok
masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa diidentifikasi berasal dari kelompok
agama tertentu.Isu seperti penodaan agama, seperti dalam kasus karikatur
tentang Nabi Muhammad, dimasukkan dalam kategori isu komunal ini. Perlu
ditegaskan: Perseteruan atau bentrok menyangkut suatu isu keagamaan – sepanjang
kedua belah pihak yang terlibat tidak dapat diidentifikasi berasal atau
mewakili komunitas keagamaan yang sama juga dimasukkan dalam isu ini. Jika
kedua belah pihak pelaku dapat diidentifikasi berasal dari komunitas agama yang
sama, maka konflik semacam itu akan dimasukkan dalam kategori isu sektarian.
Keempat, isu terorisme, yaitu isu
yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror dengan sasaran kelompok keagamaan
atau hak milik kelompok keagamaan tertentu, maupun serangan teror yang
ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing. Tindakan
kekerasan ini kerap disebut juga sebagai tindak terorisme keagamaan (religious terrorism), yang dipandang
sebagai “tindakan simbolik” atau performance violence, ketimbang
suatu tindakan taktis atau strategis. Untuk kasus Indonesia, contohnya adalah
pengeboman di Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, dan berbagai
serangan bom di Jakarta. Adapun kekerasan berupa serangan teror di wilayah
konflik komunal, maupun insiden yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik
di wilayah komunal tertentu seperti Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon, Maluku,
dimasukkan dalam kategori ketiga di atas, yaitu isu komunal.
Kelima, isu politik-keagamaan, yaitu isu-isu yang melibatkan
sikap anti terhadap kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing lainnya
dan sikap kontra ideologi/kebudayaan Barat atau asing
lainnya. Termasuk ke
dalam isu politik-keagamaan di sini adalah isu penerapan Kristianisme atau Islamisme, serta pro-kontra menyangkut kebijakan
pemerintah Indonesia yang berdampak pada komunitas keagamaan tertentu.
Terakhir, keenam, meliputi isu
subkultur keagamaan mistis seperti santet, tenung dan sebagainya, maupun
isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 5 kategori sebelumnya.
Data-data di atas memperlihatkan bahwa pola dan isu
konflik keagamaan sangat variatif dan beragam. Bisa juga dilihat konflik keagamaan berwujud aksi
damai dan aksi kekerasan. Yang pertama merupakan tindakan tanpa kekerasan dalam
merespon isu keagamaan yang sementara diperselisihkan. Termasuk di dalamnya aksi protes, aksi dukungan maupun
aksi mediasi. Yang kedua, tindakan atau aksi kekerasan fisik dalam merespon isu
keagamaan yang diperselisihkan dan berakibat mati, luka, hilang, mengungsi pada
orang, atau kerugian, kerusakan atau kehilangan harta benda.
2.
Dampak Konflik Sosial Agama
Dalam
kehidupan masyarakat majemuk sering terjadi pertentangan antara satu aspek
dengan aspek lainnya terkhusus dalam masyarakat yang berbeda agama. Sehingga
terdapat potensi konflik yang rentan terjadi dalam kehidupan masyarakat. Setiap
konflik yang terjadi dalam masyarakat akan membawa dampak, baik dampak secara
langsung maupun dampak secara tidak langsung.
1. Dampak Secara Langsung
Dampak secara langsung merupakan dampak yang secara langsung
dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Masyarakat yang terlibat
konflik sosial agama menimbulkan keretakan hubungan antara individu atau
kelompok dengan individu atau kelompok lainnya. Selain itu adanya perubahan
kepribadian seseorang seperti selalu memunculkan rasa curiga, rasa benci, dan
akhirnya dapat berubah menjadi tindakan kekerasan terhadap kelompok yang
dianggap musuh. Jika konflik terus berlanjut bisa menimbulkan keruguian seperti
hancurnya harta benda dan korban jiwa. Hal itu terjadi jika konflik berubah
menjadi tindakan kekerasan apalagi jika diikuti perusakan fasilitas umum.
Selain itu konflik juga dapat mengakibatkan kemiskinan yang
semakin bertambah akibat tidak kondusifnya keamanan, lumpuhnya roda
perekonomian jika suatu konflik berlanjut menjadi tindakan kekerasan.
2.
Dampak
Tidak Langsung
Dampak tidak langsung merupakan
dampak yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam
sebuah konflik ataupun dampak jangka panjang dari suatu konflik yang tidak
secara langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Misalnya pada kasus
terorisme bom di pulau Bali yaitu dimana seseorang atau sekelompok orang yang
mengatasnamakan agama mengebom beberapa tempat di Bali yang penuh dengan turis
asing sehingga menimbulkan banyak korban.
Adapun dampak positif dan dampak
negatif dari konflik sosial agama adalah :
1)
Dampak
Negatif
Dampak negatif merupakan dampak yang tidak bisa dihindari oleh
orang-orang yang berkonflik. Dampak negatif tersebut meliputi:
a.
keretakan hubungan antar kelompok.
Sebuah
konflik antar kelompok mau tidak mau, meskipun telah berdamai, pasti tetap
meninggalkan kebencian pada beberapa individu dalam kelompok tertentu yang
memiliki perbedaan anata ras dan agama.
b.
Perubahan Kepribadian pada Individu.
Individu-individu yang ada dalam
kelompok sosial tertentu akan mengalami perubahan sifat. Biasanya mereka akan
diliputi perasaan marah, curiga, dan membenci orang-orang yang menjadi lawan
konfliknya. Terkadang kepribadian seseorang lambat laun akan berupah menjadi
seseorang yang diliputi kecemasan. Ia tidak akan merasa tenang karena khawatir
jika konflik akan terjadi lagi. Ia diliputi rasa curiga jika kelompok yang
dulunya berkonflik dengan mereka kembali menyulut permasalahan.
c.
Kerusakan Harta Benda dan Jatuhnya Korban Jiwa.
Konflik yang sifatnya merusak bisa
berakibat rusaknya harta benda yang dimiliki oleh kelompok sosial tertentu.
Konflik sosial sering diikuti dengan tindakan anggota kelompok dari
masing-masing kubu untuk bertindak dengan mengandalkan kekerasan. Kerusakan
tempat tinggal, fasilitas umum, dan lain sebagainya, merupakan bukti konkret
bahwa konflik sosial justru berakibat buruk terhadap kepemilikan harta benda
dari masing-masing kelompok.
d.
Terjadi Dominasi dan Penaklukan.
Adanya konflik yang melibatkan dua
kelompok tertentu di antara mereka ingin menunjukkan dominasi mereka. Salah
satu dari dari kelompok tersebut ingin menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dan
lebih berkuasa terhadap suatu hal. Akibatnya, timbul keinginan untuk
menaklukkan kelompok yang bertentangan dengan kelompok tersebut.
2)
Dampak Positif
a) Meningkatkan solidaritas kelompok.
Sebuah kelompok memiliki pihak lain
yang diidentifikasikan sebagai musuh bersama. Dengan ini setiap anggota
kelompok tersebut akan bekerja sama untuk menyingkirkan pihak yang
diidentifikasikan sebagai musuh bersama tadi.
b) Menciptakan Integrasi yang harmonis.
Integrasi yang dimaksud adalah
adanya kesatuam yang semakin kuat antar masyarakat setelah konflik berakhir.
c) Memperkuat identitas pihak yang
berkonflik.
Dengan adanya konflik, pihak-pihak
yang terlibat semakin memahami identitasnya, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota dari sebuah kelompok.
d) Membawa Wawasan.
Konflik juga bisa membawa wawasan
kedua belah pihak yang bertikai.
e) Membentuk
Kepribadian.
Konflik sosial yang dilakukan dengan
persaingan yang baik akan menumbuhkan sifat jujur dari kelompok-kelompok yang
bersaing. Kejujuran itu akan menumbuhkan jiwa sosial dan diri seseorang.
Berbagai akibat dapat terjadi ketika
konflik terjadi. Konflik sosial yang sifatnya mengandalkan kekerasan dan
anarkisme dan melibatkan agama pada sebagian besar akan menimbulkan dampak
negatif.
3.
Penyelesaian Konflik Sosial Agama
Gambaran mengenai kemampuan bangsa Indonesia menjalin
kebersamaan dalam perbedaan, bisa dilihat pada hasil kajian di atas. Rupanya
perbedaan, atau katakanlah konflik masih lebih banyak diekspresikan dalam
bentuk damai dari pada kekerasan. Fakta tersebut bisa jadi hasil dari serangkaian upaya
kreatif dan terus menerus dari masyarakat, terutama kalangan intelektual untuk
mengurangi potensi konflik. Meskipun demikian, tidak berarti konflik menjadi
hilang sama sekali. Potensi konflik masih tetap ada selama keadilan pada hampir
semua aspek kehidupan belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Dalam kaitan dengan konflik, apalagi kalau dikaitkan
dengan agama, kemampuan bangsa Indonesia mengapresiasi konflik secara lebih
positif, seperti terlihat dari data di atas, cukup menggembirakan. Kemampuan
adaptif tersebut bisa jadi karena disemangati oleh nilai-nilai ‘toleran’ yang
diajarkan setiap agama yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, meskipun setiap agama mengandung dokrin-dokrin eksklusif
tersebut, namun juga mengajarkan
banyak dokrin inklusif. Inklusifitas
ajaran setiap agama bisa
dilihat tidak hanya pada tingkatan dokrin serta gagasan, tetapi telah mewujud
dalam perjalanan panjang peradaban agama, tidak terkecuali Indonesia.
Merujuk pada beberapa referensi
dan pengalaman penyelesaian permasalahan serupa, terdapat beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi konflik umat beragama khususnya dalam
masyarakat yang memiliki watak fanatik dan keras Membuka ruang publik dan dialog
antara masyarakat beragama dan pemerintah. Pada beberapa kasus agama bukanlah
menjadi faktor mendasar mengapa konflik terjadi. Konflik terjadi disebabkan
rendahnya intensitas komunikasi antara kelompok-kelompok beragama. Penguatan lembaga-lembaga non
pemerintahan (LSM) yang bergerak dalam bidang kerukunan umat beragama. Selama
ini tidak banyak LSM yang berkonsentrasi pada isu konflik umat beragama. Namun
dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir seiring maraknya kasus konflik umat
beragama mulai muncul beberapa LSM yang memiliki konsen pada itu tersebut.
Salah satunya adalah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang merupakan forum
yang diharapkan dapat mencetuskan langkah-langkah strategis untuk
mengantisipasi terjadinya konflik umat beragama.
Dalam rangka resolusi konflik, banyak hal yang perlu
dilihat. Dalam waktu singkat, konflik yang ada kalau bersifat frontal, harus
diredakan terlebih dahulu. Bisa dengan pendekatan hukum yang tegas. Dalam jangka
panjang, dicarikan solusi dengan misalnya mencari akar masalah, mengkampanyekan
pendidikan yang berdimensi pluralistik, ceramah yang penuh hikmah dengan muatan yang tidak memicu
konflik. Yang tidak kalah pentingnya ialah mewujudkan keadilan dalam semua ranah
keidupan masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial, budaya maupun agama.
E. Kesimpulan
1. Secara
sosiologis manusia memerlukan tidak hanya manusia lain tetapi juga alam
lingkungan. Dengan demikian interaksi menjadi keniscayaan. Dalam ragam
interaksi, konflik pasti akan hadir sebagai konsekuensi perbedaan
kecenderungan, kebutuhan, nilai budaya, agama, politik, sosial, ekonomi dan
lain-lain.
2. Konflik bisa diartikan pertikaian atau perselisihan yang bisa terjadi antar
individu, kelompok, maupun Negara yang bisa mengambil bentuk fisik atau
gagasan/non-fisik. Sementara konflik keagamaan merupakan perseteruan mengenai
nilai, klaim, identitas yang melibatkan isu-isu kegamaan. Selain itu juga bisa
berwujud aksi damai maupun kekerasan.
3. Konflik
bisa disebabkan beberapa faktor seperti: perbedaan pendirian dan perasaan
individu; perbedaan latar belakang kebudayaan; perbedaan kepentingan; perubahan
nilai yang cepat. Konflik keagamaan terjadi karena: klaim kebenaran yang
rigid/kaku; wilayah agama dan suku/adat memudar; dokrin jihad dipahami secara
sempit; kurangnya sikap toleran dan minimnya pemahaman ideologi pluralism.
Isu-isu konflik
keagamaan di Indonesia seperti isu moral, isu sektarian, isu komunal,
terorisme, isu politik-keagamaan, dll, bisa diminimalisir dengan adanya
pendekatan hukum yang tegas dan adil, pendidikan dan dakwah yang berdimensi
pluralistik dan penuh kebijaksanaan, serta mengupayakan terciptanya keadilan
dalam semua ranah kehidupan masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik,
budaya maupun agama.
Daftar Pustaka
Horton, Paul B. & Chester L. Hunt.
(1999). Sosiologi (terjemahan). Jilid I.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama.Cet.
IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1999), edisi Baru ke-4, cet.27.
Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer.Cet. 2; Jakarta: Kencana,2010
Komentar
Posting Komentar