Puting dan Proses Penciptaan yang salah?

Scriptural Reasoning membahas Teladan Nabi Adam di Taman USU

                      
Sebuah cerita pendek yang aku baca dari kumpulan cerpen Anak Medan “Ironi-ironi Kehidupan”, telah menjadi ide kali ini untuk menulis-nulis kajian makna yang terkandung didalamnya.
Judul dan isinya agak menyelonoh sih, tetapi ada makna tersimpan dari seluruh pengalaman hidup yang secara gamblang dipaparkan dalam cerpen ini. Awal membaca judul sudah sangat tertarik, tetapi dipertengahan aku mendapat sebuah pengalaman unik ketika adanya perbandingan kehidupan antara masyarakat kota dan desa dengan segala onggokan sipenulis tentang pekerjaannya sebagai ‘pelayan birahi’ yang notabene sudah mewabah menjadi hal lazim yang tak bisa dipungkiri lagi.
dapat ide setelah baca salah satu cerpennya

Penulis ini mencoba menyandingkan kenikmatan pekerjaannya dengan dilema pikiran yang selama ini tertanam dalam pekerjaannya. Puting. Satu kata bermakna ganda. Bisa bermakna kotor atau biasa. Di kampungnya, ia sudah terbiasa melihat kotoran ternak sapi, ayam, babi dan lainnya melenggang bebas tanpa dikandangkan. Ia menganggap itu adalah pemandangan yang unik dan menyenangkan karena itu sebagai ornamen pelengkap yang menghiasi kehidupan sederhana para warga desanya. Dan ketika penulis ini beranjak dewasa ia berpindah haluan ke hiruk pikuk bernama ibu kota. Sangat kontras ya, disaat adanya peralihan kehidupan dari desa ke kota, segala aktivitas yang lalu menjadi perbedaan yang sulit dilupakan. Kita mungkin tidak bisa menemukan ceceran kotoran ternak seperti di desa, tetapi kita mendapatkan pemandangan yang luar biasa dan tidak biasa bagi orang-orang desa seperti kita.
Nah, disinilah aku mulai tertarik membaca cerpennya, si penulis hampir tiap hari melihat ‘ceceran puting’. Ya, puting, berserakan dimana-mana. Tidak hanya didaerah remang-remang tempat para manusia menjajakan diri bak makanan, juga di jalanan ramai, traffic light, pusat perbelanjaan, kantor-kantor megah bahkan digedung parlemen. Disinilah, disetiap tempat puting-puting itu berserakan dan tercecer liar, bagai tak bertuan. Zaman memang udah gila atau manusianya terlahir gila? Tak perlu usaha berat dan penuh tekongan untuk mendapatkannya. Cukup jentikkan jari, puluhan puting akan berlomba menwarkan diri, menanti sentuhan dan remasan jemari kasar si Buaya.
Ironi memang. Kita bisa melihat sendiri dikampung halaman kita masing-masing. Ketika mataku sering tak sengaja menyaksikan puting ibu-ibu yang memberi susu pada anaknya. Keterbatasan pendidikan membuat mereka tak berpikir itu tabu. Tidak ada wajah sangar ketika mataku ini melintas dan mendaratkan pandang pada payudara dengan puting yang memompakan air susu kedalam mulut menganga si bayi. Payudara orang kampung pun sangat berbeda dengan yang dimiliki kota. Puting-puting di desa tidak dijajakan untuk kebutuhan komersil.
Percakapan para buaya bisa saja menjadi wadah perkembangan referensi puting yang cocok untuk birahi semata. Tak pelak, ketika dihadapkan pada itu, aku ingin mengistirahatkan pikiran dengan tersenyum saja tanpa menghiraukan atau mendalaminya. Orang-orang bisa saja memberi arti jika orang pendiam sebenarnya permainannya sangat jahat, tetapi di satu sisi ada satu hal yang ingin saya ungkapkan yaitu, aku butuh waktu untuk menyaring percakapan aneh seperti itu. Bukan menghindar tetapi istilahnya, segala hal perlu narasi yang mantap untuk sebuah runut dialog yang baik.
Sama halnya, di ibukota, payudara dengan puting kemerahan bisa didapatkan tanpa harus menunggu keberuntungan menghampiri. Jika dulu buaya hidung belang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkannya, kini secara gratis pun sudah dibagikan. Seolah tak berharga. Cukup lemparkan kerlingan simpatik, dendangkan sebaris ayat rayuan, maka puting itu siap menanti hisapanmu. Saling meraba dan beberapa detik kemudia kau akan mendapati celanamu telah melorot. Inilah penyakit sekarang ini, ketika sudah merasa suka sama suka, apapun itu baik halangan maupun anjuran tidak akan dipedulikan, karena hasrat sudah melebihi dari hakikat moral seorang manusia yang menjaga tubuhnya layaknya bait Allah
Sedemikian murahnyakah puting-puting yang berceceran di kota? Entahlah! Sepertinya angka pengangguran yang semakin naik rating dan kurangnya mata pencaharian telah memaksa manusia menukar moralnya dengan selembar uang buat beli beras satu liter.
Aku sering bertanya dalam diam, dalam hati yang penuh dilema, apa sesungguhnya tujuan Tuhan menciptakan puting? Seharusnya Dia mencipatkannya hanya sebagai distribusi makanan dari ibu kepada bayi dan bukan untuk kenikmatan. Apa Tuhan lagi-lagi melakukan kesalahan dalam proses penciptaan?.
Ampuni aku ya Allah, karena dengan pikiran seperti ini aku telah mempertanyakan kuasa dan kebenaranMu. Dalam diam juga, aku sering menjadi oposisimu, meragukanMu sebagai Al-Khalik yang menjadi sumber kebenaran. Ampuni aku ya Allah. (Tunjukkanlah belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu. Yudas 1:22)
Dengan tidak menempatkan sumber kenikmatan di puting payudara, mungkin ya dunia tidak akan sebejad ini. Penulis cerpen ini, menganggapk manusia tidak lagi menjajakan putingnya untuk uang. Takkan ada lagi sosok yang menjadikan puting sebagai alat permainan untuk memperoleh perhatian dan sensasi sesaat. Kota akan menjadi tempat yang menyenangkan dan damai. Kita gak akan takut terjatuh saat berjalan karena kaki tersandung puting yang tergeletak sembarang. Kita juga gak bakal menemukan onggokan puting yang terbuang sia-sia membuat got tersumbat. Jalanan juga gak macet lagi karena puitng-puting menyeberang di kala lampu menyala hijau dan tak melintasi jembatan penyeberangan.
Sebuah mimpi yang akan tetap jadi mimpi. Tidak ada cara selain menjadikan itu kerja nyata. Bukan sekedar kata, seperti tulisanku ini. Kerja nyata untuk menyadarkan diri bagaimana fungsi puting sebagai penyambung kehidupan manusia, bukan sebagai area perlintasan birahi sesaat yang disering dikaitkan pada istilah komersialisasi puting. Atau obral puting di menjelang pergantian tahun nanti. Aku harap, kita dengan sadar memperlakukan hidup sebaik-baiknya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)