Peace

Pada mulanya kita sama.

Semua yang akan kita lakukan pada orang lain harus kita  pikirkan sebelumnya bagaimana kalau kita diperlakukan demikian (Golden Rule). Jangan berprasangka kalau kita tidak mau orang berprasangka terhadap kita, jangan merusak rumah ibadah bila rumah ibadah kita tidak mau dirusak, jangan menghujat dan menghina keyakinan orang lain bila kita tidak mau dihujat dan dihina karena keyakinan kita. –buklet YIPC seri 3-
Gencarnya perbincangan mengenai suku, agama, ras dan antargolongan di antara sesama anak bangsa melebarkan sayap didunia nyata ataupun maya. Pada saat bangsa-bangsa lain di dunia berlomba untuk membangun peradaban hingga dasar samudera bahkan di galaksi yang luas ini, kesatupaduan kita sebagai satu bangsa malah terseret kembali ke arah keterbelahan.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkeram kuat kaki burung Garuda jelas menegaskan bahwa hidup dalam keberagaman sudah diwariskan berabad-abad di Nusantara; sebuah keniscayaan. Beragamnya nisan para pahlawan yang belum lama ini kita peringati jasanya juga menjadi bukti sejarah kontemporer.
Mengingat peristiwa lalu, saat Tontowi Ahmad dan Lilyana Natsir yang membawa pulang ke tanah air medali emas Olimpiade Rio dalam kategori olahraga Badminton. Peristiwa itu secara tidak langsung menampar aksi mereka yang mengusik keberagaman di negeri ini yang juga menunjukkan contoh bahwa keberagaman bangsa bisa menjadi kesatuan tanpa harus memperketat jarak antar yang berbeda dan bertolakan. Pasangan ini juga kembali membuat kita bersatu ketika pada tanggal 28 oktober yang lalu mereka membaca naskah Sumpah Pemuda di halaman Istana Merdeka. Pasangan ganda campuran yang berbeda suku, agama, ras dan antargolongan ini mampu menjadi ikon panutan akan kemajemukan di bumi pertiwi ini.
Untuk melanggengkan kekuatan keindonesiaan kita, salah satu proklamator kerap mengingatkan, “kita ini turunan bangsa besar, yang sejarahnya gilang gemilang pada masa dahulu, dan kini harus menbusnya kembali”. “syarat pertama untuk menjadi satu bangsa yang merdeka ialah keinsafan bahwa kita adalah suatu bangsa uang bersatu padu, yaitu bangsa Indonesia, yang bertanah air Indonesia. Lenyapkanlah di dalam hati perasaan termasuk ke dalam satu golongan kecil yang mempunyai kepentingan sendiri. Kepentingan semuanya harus didahulukan daripada kepentingan sebagian-sebagian”.
Apakah sesusah itu mencapai perdamaian untuk membangun negara ini?
Sebagai mahasiswa yang  mengerti akan kemajuan negara yang sedang kandas akibat ulah oknum-oknum berprasangka buruk akan orang lain yang berbeda, seharusnya sadar diri dan bertanggungjawab untuk masalah ini. Bukan sebaliknya ikut mempropagandakan ke-Fakir-fakir-an. Indonesia itu harga mati loh. Ada quote yang sering menjadi hits dalam percakapan mahasiwa “ percuma beragama, kelakuan kok kayak gak beragama”. Istilahnya menghina tetapi bermakna positif untuk menyadarkan seseorang yang sudah diluar batas kewajaran. Mengklarifikasi sebuah pernyataan yang menyudutkan suatu kelompok atau pribadi kepada orangnya merupakan langkah awal untuk mencapai pembenaran akan masalah. Tidak sedikit orang akan menjadi agresif ketika hal-hal yang berbau sensitif yang menjadi identitas keakuan mereka diperdaya oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab.
Perdamaian sejati akan adanya perbedaan akan mudah terwujud ketika kita saling memahami apa yang menjadi masalah antar yang bertolakan dengan cara menemukan titik temu kesadaran diri bahwa sebenarnya konflik keberagaman akan membawa perpecahan bangsa yang besar ini. Dialog adalah kunci. Kunci guna meretas maraknya singgungan unsur SARA dengan mengedepankan rasa kebangsaan dan memunculkan ide persamaan diantara aku dan kamu.

-acommonword-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-Usul ...

TAMPI BERAS (Oneul Mohae)